Aturan Pilkada 2020, Petahana Mundur

Ketua Bawaslu RI ,Abhan

KILASSULAWESI.COM, JAKARTA – Wacana aturan harus mundurnya petahana dalam Pemilihan Kepala Daerah (PIlkada) 2020 mencuat. Lembaga pengawas pemilu menilai, legislatif dan eksekutif merupakan posisi politis. Sehingga harus diterapkan aturan yang sama.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin sepakat dengan usulan tersebut. Menurutnya, aturan tersebut sangat penting untuk azas keadilan. Selain itu, independensi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam memilih juga bisa terjaga dengan baik.

Ujang berpendapat, jika kepala daerah hanya cuti, birokrasi tetap akan tunduk. Karena secara tidak langsung, petahana masih menjabat sebagai pemimpin di daerah. Hal ini juga bisa mempengaruhi netralitas ASN yang harus memilih saat hari pemungutan suara.

“Saya sangat setuju. Saya rasa tidak alasan apalagi jika alasannya ada kekosongan. Karena bisa langsung ditunjuk pelaksana tugas. Bahkan ketika cuti pun tetap akan ditunjuk Plt,” kata Akademisi Universitas Islam Al Azhar Indonesia ini kepada FIN,kemarin.

Posisi eksekutif kepala daerah tidak bisa disamakan dengan presiden. Sebab, Presiden sebagai kepala negara harus diberikan spesialisasi. Terlebih, MK telah mengatur jika presiden petahana tidak perlu cuti ketika ingin maju kembali.

Sementara itu, Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan, aturan mengenai cuti petahana dan anggota DPR atau DPRD harus mundur jika ingin mencalonkan diri di Pilkada harus dikaji ulang. Menurut Abhan, Bawaslu akan lebih mudah untuk melakukan pengawasan jika kedua calon tersebut mundur.

“Ini memang di sisi lain ada ketidaksamaan antara petahana dengan jabatan misal DPR, DPRD. Sama-sama bupati, wali kota itu jabatan politis juga. Kenapa kalau di DPRD kalau anggota DPRD provinsi, kabupaten, kota harus mundur. Sementara incumbent cukup hanya cuti,” ujar Abhan.

Menurutnya, harus ada pembahasan kajian lebih lanjut. Bagi jajaran pengawas akan lebih mudah pengawasan jika legislatif dan eksekutif harus mundur. Sehingga tidak ada potensi abuse of power alias penyalahgunaan oleh petahana. “Jadi memang ada yang merasa nggak adil. Yang satu harus mundur, yang satu cukup cuti. Padahal sama-sama jabatan politis. Itu , yang saya kira harus dikaji kembali di UU Nomor 10 Tahun 2016,” imbuhnya.

Ada juga keunggulan petahana dibandingkan dengan calon pendatang. Dia menyebut petahana lebih diuntungkan karena sudah dikenal publik terlebih dahulu. Waktu penyelenggaraan Pilkada yang singkat, dikhawatirkan akan menyulitkan pendatang baru untuk sosialisasi.(fin)

Pos terkait