Laporkan Narasumber Media, Prof Bagir Manan: Kembalikan ke Masalah Pers

Ketua Dewan Pers, Prof Bagir Manan

JAKARTA, KILASSULAWESI– Beberapa tqhun terakhir semakin banyak narasumber pers yang digugat dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik karena pernyataannya yang dimuat pers. Kecenderungan ini tentu saja merisaukan, tidak hanya bagi narasumber bersangkutan, tetapi juga praktisi pers.

Ketua Dewan Pers, Bagir Manan menuturkan, tentang maraknya gugatan terhadap narasumber yang disiarkan melalui kanal Youtube Dewan Pers, hingga media siber yang nota bene telah terverifikasi faktual.  ” Saya ingin bicara dulu tentang pencemaran nama baik. Ini sebetulnya kaidah karet. Sulit sekali memberikan substansinya, sehingga setiap orang bisa menggunakannya sebagai cara untuk membuat seseorang menjadi tersangka atau terdakwa,” ungkapnya.

Karena itu wajar kalau banyak pandangan yang mengatakan kaidah seperti itu tidak wajar dalam satu kehidupan masyarakat yang bebas, kehidupan masyarakat yang demokratis. Sebab kebebasan berpendapat dan berekspresi akan mudah sekali dianggap sebagai mencemarkan nama baik.

Itu konsep dasar yang semestinya penegak hukum juga berhati-hati kalau menghadapi persoalan seperti itu.  Sekarang terjadi upaya-upaya yang bermula dari pemberitaan pers, tapi yang dikejar narasumber. ” Saya yakin mereka yang menggugat narasumber memahami, kalau mereka membawa ini kepada persoalan pers, maka tidak dapat memenuhi sepenuhnya selera mereka untuk menjadikan ini persoalan hukum,”bebernya.

Sebab, lanjut Bagir Manan kalau masuk ke persoalan pers maka pertama-tama harus diselesaikan menggunakan prinsip-prinsip pers bebas yang diatur UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan prinsip-prinsip pers universal. ” Saya pikir, mereka sadar atau tidak sadar sedang menggerogoti upaya kita untuk membangun tatanan kehidupan pers yang sehat. Dimana pers menjadi sumber kebenaran, sumber dimana kita mendapatkan berita yang benar. Khusus mengenai upaya menjadikan sumber berita sebagai pihak yang dianggap melakukan perbuatan pidana, khususnya pencemaran nama baik, hal itu juga berkaitan dengan salah satu hal yang sangat mendasar di dalam pers bebas,”timpalnya.

Telah menjadi asas umum dalam pers bebas yaitu menjadi kewajiban pers untuk melindungi narasumbernya. Mengapa kewajiban itu sangat ditekankan kepada pers bebas, karena apabila sumber berita menjadi tidak aman maka tidak akan ada lagi pihak yang memberikan keterangan, fakta-fakta, demi kepentingan masyarakat umum. Dengan itikad baik narasumber, justru mereka menjadi tersangka melakukan pidana. Karena itu, kewajiban yang absolut bagi pers untuk melindungi narasumber.

Di mana saja pernah terjadi kasus semacam ini, pers mengatakan “lebih baik kami dipenjarakan daripada kami harus mengungkapkan narasumber kami”. Ini harus dipegang teguh pers. Pihak yang merasa dicemarkana nama baiknya, kalau itu bersumber dari pemberitaan adanya karena pemberitaan maka tidak semestinya yang dia kejar narasumber.

Menurut asas pers, setiap pemberitaan menjadi tanggung jawab pers, khususnya tanggung jawab redaksi. Mengapa tidak itu yang dipersoalkan. “Saya memohon kepada pers yang memberitakan, apabila mereka dikejar-kejar untuk mengungkap narasumbernya, saya meminta mereka tetap memegang teguh prinsip dalam keadaan apapun narasumber dilindungi dan pes yang harus mengambilalih tanggung jawab.

Langkah yang sudah dilakukan Dewan Pers terkait gugatan dan tuntutan kepada narasumber berita. Bagir Manan menjelaskan, Dewan Pers telah melakukan surat menyurat, memohon. Meskipun yang dibawa ke ranah hukum adalah narasumber, tapi karena bersumber dari pemberitaan, kita meminta kepada penegak hukum agar masalah ini dikembalikan ke masalah pers.

” Saya berharap sikap Dewan Pers ini diikuti seluruh pers. Tidak perlu ragu-ragu. Pers kita sudah biasa menghadapi masalah seperti itu. Bahkan dulu lebih pahit. Tapi pers kita bisa bertahan dengan baik dan sekarang menjadi kekuatan yang tidak mungkin tidak diperhitungkan,” jelasnya.

Kalau ada masyarakat Indonesia ingin mengecilkan peran pers, itu berarti dia sedang mendorong kita kembali kepada sistem-sistem lama. Saya berharap tidak ada yang berpikir seperti itu. Sebelumnya, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin mendesak pihak kepolisian untuk lebih berhati-hati dalam menanggani satu kasus yang di dalamnya terdapat pihak media dan juga narasumber. “Karena media ataupun pers dan narasumber dilindungi oleh Undang Undang Pers,” ujarnya.

Menurut Ade,  pernyataan narasumber yang sudah dikemas dalam sebuah berita dikategorikan sebagai karya jurnalistik, karena sudah diolah dengan prosedur jurnalistik di perusahaan media. Maka harusnya  diselesaikan melalui sengketa jurnalistik yang ada di dalam UU Pers.
“Sehingga dalam hal ini perusahaan media tidak lepas tangan dan harus melindungi narasumber. Selain itu, apabila kasus ini terus menerus terjadi, tidak menutup kemungkinan akan ada Chilling Effect keadaan,” ujar Ade.

Dampaknya, Ade menegaskan, masyarakat tidak mau atau enggan berkomentar karena takut terkena kriminalisasi tersebut.” Apabila masyarakat sudah terjangkit itu, maka kebebasan pers akan semakin buram,” ujarnya. Dikatakannya lagi, fenomena kriminalisasi terhadap narasumber sangat berbahaya bagi kebebasan pers dan bisa dianggap sebagai intervensi terhadap independensi ruang redaksi.

Sebab, Ade mengatakan, narasumber bisa gamang dan takut dalam membeberkan pernyataan kritis terhadap isu sosial-politik. “Akibatnya, publik bisa kehilangan akses pada informasi yang mendalam, karena narasumber sudah melakukan sensor mandiri pada pernyataannya. Sehingga publik tak punya lagi referensi informasi yang kuat,” ujarnya. “Maraknya kriminalisasi narasumber, selain menyebabkan narasumber melakukan swasensor terhadap pernyataannya, juga menimbulkan masalah baru antara narasumber dengan media,” ujar Ade.

Ade menjelaskan, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (European Court) menyatakan hak untuk perlindungan sumber sebagai  landasan untuk kebebasan pers. Tanpanya,  sumber dapat menjadi terhalang untuk membantu pers dalam menginformasikan kepada publikmengenai hal-hal terkait kepentingan publik. “Akibatnya, peran vital pengawas publik (publikwatchdog) pers dapat terganggu dan kemampuan pers untuk memberikan informasi yang akurat dan handal kepada publik dapat terkena dampak merugikan,” kata Ade. (*)

 

Pos terkait