Bertahan di Pengungsian, Warga Korban Gempa Butuh Tenda dan Makanan

KILASSULAWESI.COM,MAMUJU– Dua hari pasca gempa, warga masih bertahan di lokasi pengungsian. Sebagian lagi memilih meninggalkan Mamuju dan Majene. Masyarakat terdampak gempa menghindari pantai. Mereka mencari tempat pengungsian di tempat-tempat tinggi. Pemerintah mengimbau agar warga tetap di pengungsian. Jumlah warga di Mamuju yang mengungsi berdasarkan data Pusdalops BNPB sebanyak 15.014 orang. Mereka tersebar di beberapa lokasi dan kecamatan. Posko bencana Majene yang berpusat di Desa Sulai, Kecamatan Ulumanda, mencatat sudah 15 ribu warga mengungsi. Namun, Bupati Majene, Lukman menyebut, sudah 80 persen warga Majene memilih mengungsi. Utamanya di daerah terdampak gempa, Ulumanda dan Malunda.

Warga mencari tempat pengungsian hingga ke Tinambung, Polewali Mandar. Semua kecamatan menjadi titik pengungsian. Di kecamatan Ulumanda hingga Malunda, Kabupaten Majene bahkan hingga Tapalang, Mamuju, warga sudah meninggalkan rumah yang berada di pesisir. Arus kendaraan juga kian padat sejak akses Mamuju-Majene terbuka. Jumlah kendaraan yang meninggalkan Mamuju lebih padat. Titik-titik pengungsian di pinggir jalan nyaris selalu ditemui di sepanjang Kecamatan Pamboang hingga Ulumanda. Bantuan makanan hingga tenda masih menjadi kebutuhan dasar.

Bacaan Lainnya

Salah seorang warga Mekkata, Kecamatan Malunda, Majene, Musbahuddin mengaku, kebutuhan mendesak berupa tenda dan makanan. “Tenda yang dipakai itu bocor. Kalau hujan, kita berkumpul di tengahnya. Kami juga butuh makanan,” keluhnya seperti dikutip dari Harian Fajar (Fajar Indoensia Network Grup). Bupati Majene, Lukman juga mengakui, warga Ulumanda hingga Malunda terus meninggalkan rumahnya. Dari pengamatannya, hampir semua titik, ada warga Ulumanda dan Malunda yang mengungsi. “Ada 80 persen warga Majene mengungsi. Bukan hanya di Ulumanda hingga Malunda, nyaris semuanya,” ujarnya.

Pengungsi pun diminta tetap waspada dan berada di lokasi pengungsian. Belum ada imbauan terkait kepastian gempa. Apalagi, isu bakal terjadi gempa susulan yang lebih kuat pun menguat. “Jangan dulu kembali ke rumah. Sampai ada imbauan dari BMKG. Artinya tetap di pengungsian, karena belum ada peringatan dari BMKG kalau kondisi sudah aman,” imbaunya. Sementara itu, distribusi logistik terus dilakukan dengan metode menyerahkan kepada kepala desa dan pemerintah setempat. “Kita serahkan kepada kepala desa, karena mereka yang tahu di mana masyarakatnya berada,” kata bupati.

Kepala BPBD Majene Ilhamsyah DJ menyebut sebelumnya hanya 25 titik pengungsian. Kini terus bertambah, baik dari Kecamatan Banggae hingga ke Malunda. Jumlah warga mengungsi pun terus bertambah. Kapolda Sulbar Irjen Eko Budi Sampurno saat meninjau Posko Bencana di Majene, mengatakan, personelnya tetap melakukan pengawalan distribusi bantuan agar tidak terjadi kesalapahaman yang membuat warga merasa tidak terbantu. Hingga akhirnya, melakukan pengadangan. Kapolda menyebut warga sudah diberi pemahaman. Distribusi pun makin lancar. Dapur umum juga tersedia di posko untuk memastikan kebutuhan pengungsi. “Untuk pengungsi misalnya ke Polewali, kita fasilitasi. Jadi, kantor kepolisian dan tentara disiapkan untuk membantu masyarakat,” ujarnya.

Di Mamuju, pembersihan reruntuhan bangunan akibat gempa terus dilakukan. Termasuk reruntuhan kantor Gubernur Sulbar. Alat berat dan truk dikerahkan untuk mengangkut material. Target pembersihannya selama tiga hari ke depan. “Mudah-mudah target kita tercapai dua atau tiga hari ini,” kata Nanang Lubis dari Adi Karya yang menjadi Pelaksana Pembersihan Kantor Gubernur Sulbar. Pesan berantai melalui grup WhatsApp membuat warga kaget, , Minggu, 17 Januari. Sebagian panik. Pesan tersebut meminta warga untuk keluar dari Mamuju. Hasil rapat koordinasi Forkopimda, BMKG, dan kepala BNPB menyebut masih ada potensi gempa dengan kekuatan yang lebih besar.

Salah seorang warga, Rahmat mengaku mendapatkan pesan tersebut pagi hari. Dia langsung kaget, karena rapat antara Forkopimda dan BMKG serta BNPB memang ada dan dilakukan di halaman kantor Gubernur Sulbar. Saya hubungi teman yang ada di lokasi, ternyata tidak demikian. Saya batal naik gunung untuk mengungsi,” kata Rahmat, Minggu 17 Januari. Hal serupa diutarakan warga lainnya, Masniawati. Warga Kelurahan Karema itu mengaku sempat meminta suami pulang kampung ke Polman. Dia ingin menghindari gempa dan tsunami. “Tadi mau pulang, tapi suami bilang info hoaks itu. Jadi batal susun baju-baju untuk pulang kampung,” ucapnya.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan, catatan sejarah gempa dahsyat pernah terjadi Sulbar. Yakni tahun 1969 menyebabkan tsunami setinggi empat meter. Kejadian serupa terjadi pada tahun 1984 dengan kekuatan 7,0 SR namun tidak menyebabkan tsunami. Pelepasan energi yang seharusnya terjadi, secara teoritis harus setara dengan bencana di tahun 1969 atau 1984. Jika tidak, ada pelepasan energi yang masif seperti yang terjadi di Palu.

Namun, ada yang cukup unik terjadi di Mamuju dan Majene. Jumlah gempa susulannya sangat sedikit. Dalam dua hari pascagempa, hanya 33 kali gempa susulan. Jika gempa susulan masif terjadi, akan mengikis sisa energi dari gempa 6,2 SR agar bisa setara dengan kondisi tahun 1969. “Kami hanya ingin mengimbau warga agar jangan panik, namun tetap waspada. Jangan tinggal di dalam rumah yang retak. Cari tempat yag aman dari pesisir, namun jangan juga ketinggian. Tempat lapang dan jauh dari bangunan,” ucapnya.

Dwikorita Karnawati juga menambahkan, kini bersama timnya telah memasang alat pengukur di dekat titik lokasi gempa. Tujuannya untuk mengukur lebih akurat data gempa yang terjadi. “Sekali lagi tidak ada imbauan warga untuk meninggalkan mamuju. Yang ada adalah tetap waspada dan selalu mencari informasi dari sumber yang jelas,” ujarnya. Masyarakat terdampak gempa di Majene dan Mamuju diimbau tak panik. Tetap berada di lokasi pengungsian. Pemerintah juga harus memastikan kebutuhan dasar masyarakat terdampak gempa bisa terpenuhi.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Prof Adi Maulana mengatakan, penyebab adanya korban jiwa saat gempa disebabkan oleh reruntuhan. “Bukan gempa yang jadi penyebab utama. Akan tetapi, tertimpa reruntuhan,” ujarnya, Minggu, 17 Januari. Adi mengungkapkan, potensi gempa susulan dengan daya yang lebih besar juga belum bisa dipastikan. Belum ada teknologi yang memastikan hal tersebut. “Intinya masyarakat diimbau tidak tinggal di rumah. Terutama sepekan pasca gempa utama. Penyebab utama adanya korban jiwa bukan karena gempanya, melainkan tertimpa reruntuhan,” jelasnya.

Kata Adi, pemerintah harus hadir menenangkan warga. Adi menjelaskan, pasca gempa, pastikan pusat evakuasi atau tempat berdirinya tenda pengungsian berada di daerah yang lapang dan steril dari potensi tertimpa reruntuhan. “Hindari mendirikan posko dekat tebing untuk mencegah potensi longsor. Sebaiknya, untuk sementara, juga jangan tinggal di daerah sekitar pantai,” ucapnya. Adi menerangkan gempa susulan dengan getaran yang lebih besar juga belum tentu terjadi. Hanya saja, jika merujuk sejarah kegempaan di Majene, gempa berskala 6,9 SR pernah terjadi pada 1967 dan 1969.

Riwayat itulah yang kemudian dijadikan patokan BMKG sehingga memunculkan kesimpulan yang berorientasi pada prinsip kehati-hatian. “Ada data base. Di tempat itu punya riwayat 6,9 SR. Jadi asumsinya, bisa saja berulang. Apalagi dilihat pasca gempa 6,2 SR diikuti susulan yang jarang terjadi,” katanya. Adi Maulana menuturkan, warga juga mesti mewaspadai potensi longsor pascagempa. Setelah gempa akan ada rekahan tanah yang akan diisi oleh air hujan. Jika mencapai titik jenuh, akan mengakibatkan tanah longsor.(*)

Pos terkait