Tragedi Bazar dan Galang Dana, Gunakan Otakmu Kawan-kawan!

Bazar telah mengacaukan akar-akar kreativitas mahasiswa. Banyak kali narasi dikumandangkan untuk memutus siklus praktis kewajiban bazaar para mahasiswa yang eksis di organisasi.

Oleh: Muhammad           (Anonymous Ajatappareng)

Tidak bergunalah materi-materi organisasi yang mendidik mahasiswa supaya bisa membuka relasi, membangun negosiasi kemitraan bersifat program di pemerintahan, institusi, sampai ke unit usaha mandiri.

Ilmu sosial semacam itu tidak nampak lagi. Kira-kira mahasiswa hari ini memang di design untuk jadi karyawan warung kopi atau sales marketing yah?.

Efek keseringan bersenggama dengan bazar. Jangankan menjelaskan pencapaian kegiatan, menjelaskan feed-back jelas-jelas patah. Yah pendidikan organisasi mulai memasuki ruang hampa, dipermainkan oleh segelintir orang-orang superior alias menguntungkan para oligarki, pusaran pebisnis yang sudah membunuh ideliasme kemahasiswaannya.

Mahasiswa selalu dapat kerugian dalam berbagai aspek, mulai benturan emosi, manajemen tidak tertatah rapih dan selalu untung siapa coba?. Kita begitu ironis menyaksikan mahasiswa di tanggul pinggir pantai memakai almamater kebesaran warna-warninya membawa dos-dos jualan. Saya kadang kasihan, mayoritas organisasi mental marketing itupun dengan teknik menjual pola premanis, maksudnya memaksa dan bergerombolan.

Pendidikan praktis macam ini patur diwanti-wanti kedepan. Mereka generasi yang punya potensi, harus di didik kesadarannya bahwa banyak hal boleh dilakukan kecuali bazar. Sebenarnya tujuan galang dana seperti itu bukan orientasi dapat untung atau profit sepenuhnya.

Sering disalah tafsirkan, sehingga kalau selesai bazar atau galang dana, kurang pendapatannya malah saling menyerang person sesama pengurus dengan panitia terus menyalah-nyalahkan. Ketika mereka sudah punya dendam atau konflik kepanitiaan, sudah malas berfikir alternarif selain bazar.

Manajemen ini yang menciptakan habitat sumbu pendek malas kajian yang orientasi uang dan generasi mental baperan. Baru lucunya ada juga yang memaki kadernya bahwa jangan baper. Padahal mereka yang meletakkan pondasi pencipta kader baperan dan mental ceplas-ceplos.

Pokoknya di didik menjadi pekerja-pekerja praktis orientasi uang, menjadi budak sekret, sok-sok mengatasnamakan kepentingan Tuhan dan demi lembaga, tong kosong gumamnya.

Selepas mengurus di organisasi, bingung mau buat apa bahkan mau jadi apa. Karena tidak ada lagi pekerjaan praktis.

Kita berharap mereka selepas selesai atau tuntas mengikuti organisasi, sudah punya mental, bekal pengalaman atau pengetahuan, bukan malah kembali menebar mitos di kampus soal organisasi sangat penting, mencampuri urusan tehnis junior-junior dari level rapat, struktur, politik kemahasiswaan.

Ini semua terjadi karena sejumlah orang tidak mampu menyelesaikan dinamika atau tangggungjawabnya maka di waktu sudah merasa bijak, barulah mau perbaiki keadaan. Padahal jauh berbeda dengan kondisinya dan tak ada perbaikan, selain memperlebar akar perbudakan.(*)

Pos terkait