JAKARTA, KILASSULAWESI– Apabila sistem untuk memilih anggota DPR dan DPRD dalam Pemilu Serentak Tahun 2024 kembali pada sistem proporsional tertutup, maka secara historis, terjadi kemunduran dalam perpolitikan dan kehidupan bangsa Indonesia. Sebab, masyarakat tidak memilih langsung caleg seperti halnya yang berlaku saat ini, melainkan ditunjuk oleh parpol sebagaimana sebelum Pemilu 2009 yang lalu.
Keterangan ini disampaikan oleh Munathsir Mustaman yang mewakili Partai Garuda sebagai Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam sidang yang digelar pada Kamis, 16 Februari 2023 di Ruang Sidang Pleno MK
dikutip dari laman www.mkri.id
Perkara yang menguji secara materiil Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Sidang tersebut digelar dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait, Hermawi Taslim, DPP Partai Garuda dan Wibi Andrino dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.
Munathsir menjelaskan secara filosofis sistem proporsional tertutup berakibat pada anggota legislatif yang terpilih tidak dikenal oleh rakyat mengingat anggota DPR dan DPRD tersebut dipilih oleh parpol.
Keterpilihan tersebut bisa dilatarbelakangi karena kedekatan dengan pimpinan parpol, potensi karena membayar/memberikan uang kepada pimpinan parpol atau bahkan karena adanya hubungan kekeluargaan dengan pimpinan partai yang pada akhirnya akan menciptakan dinasti dan oligarki parpol semata, yaitu kekuasaan yang hanya dikuasai oleh segelintir orang atau kelompok.
Selain itu, Munathsir mengatakan, sistem proporsional tertutup sebagaimana dimaksud oleh Pemohon juga membawa konsekuensi logis bahwa anggota DPR dan DPRD terpilih tidak memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat. Sehingga tidak memiliki landasan dan akar yang kuat untuk membela kepentingan rakyat secara luas. Sehingga anggota DPR dan DPRD yang terpilih lebih berpotensi membela dan mengakomodir kepentingan pimpinan parpol yang memilih/menunjuknya sebagai anggota legislatif. Padahal yang harus dicari adalah keseimbangan antara kedaulatan parpol dan kedaulatan dari rakyat sebagai pemilih untuk bisa menentukan wakil-wakilnya.
Lebih lanjut Munathsir mengungkapkan, dalam sistem proporsional terbuka sebagaimana saat ini berlaku berdasarkan UU Pemilu, telah menunjukkan cerminan amanat konstitusi dan muruah penting reformasi, sebab anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Keterbukaan dan kebebasan dalam pemilu oleh rakyat untuk memilih secara langsung wakil-wakilnya dalam lembaga legislatif mencerminkan adanya partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kedewasaan dalam berpolitik.
“Sehingga terbangun kedekatan antara rakyat sebagai pemilih dengan anggota legislatif yang dipilihnya. Dengan demikian berdasarkan seluruh uraian diatas, Ia menilai permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga sudah sepatutnya jika MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” ucapnya.
Nasdem Tak Akui Pemohon
Sementara Wakil Sekjen Kebijakan Publik dan Isu Strategis Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem) Hermawi Taslim yang diwakili oleh Risky Dewi Ambarwati dalam keterangannya menyampaikan, Pihak Terkait berkepentingan langsung atas substansi atau pokok permohonan a quo tersebut. Hal ini karena persoalan yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut tentu akan memengaruhi hak konstitusional Pihak Terkait dari Partai Nasdem. “Karena salah satu pemohon dalam permohonan a quo atas nama Yuwono Pintadi (Pemohon IV) telah mengunakan atribut dan identitas Partai Nasdem sebagai pemohon di MK,” ujarnya.
Risky menegaskan Yuwono Pintadi bukan anggota atau kader Partai Nasdem karena yang bersangkutan tidak tercatat dalam sistem keanggotaan Partai Nasdem. DPP Partai Nasdem telah mengeluarkan surat edaran atau kebijakan kepada seluruh anggota partai yang telah mempunyai kartu tanda anggota (KTA) yang mana KTA tersebut berakhir pada 2019 dan wajib memperbarui KTA. “Jika tidak memperbaharui, maka dianggap mengundurkan diri. Menurutnya, perbuatan dan tindakan atas nama Yuwono Pintadi tersebut sama sekali tidak mewakili sikap Partai Nasdem dalam mengajukan permohonan a quo,” ungkap Risky.
Partai Nasdem, lanjut Risky, mendukung sistem proporsional terbuka dalam Pemilu Legislatif 2024. Ia menilai, perdebatan persoalan sistem pemilu anggota DPR dengan sistem proporsional terbuka telah berakhir, setelah diputus MK pada 2008 silam. Pasca-Putusan MK Nomor 22-24PUU-VI/2008 yang mengabulkan permohonan pengujian UU Pasal 14 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD mengubah sistem pileg dari sistem proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
“Lahirnya sistem proporsional terbuka murni berawal dari dikabulkannya gugatan yudisial review oleh MK terhadap ketentuan Pasal 14 UU 10 Tahun 2008. Pasal tersebut dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substansi kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945,” ujar Risky dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Risky mengatakan, MK sebagai lembaga yang kompeten menafsirkan UUD 1945 berpendapat tujuan utama pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai prinsip dasar konstitusi adalah rangka menetapkan sedemikian rupa penghargaan dan penilaian hak suara pemilih yang membentuk wujud kedaulatan. Pemilih pada sistem pemilu ini mempunyai peran yang cukup kuat dan penting untuk menentukan seorang calon legislatif sehingga para caleg akan berkompetisi untuk memperoleh dukungan dari masyarakat.
Tak hanya itu, lanjut Risky, sistem proporsional terbuka merupakan bentuk kemajuan dalam praktek berdemokrasi. Sistem tersebut merupakan antitesis sistem yang sebelumnya, yakni sistem proporsional tertutup yang digunakan pada saat era Orde Lama dan Orde Baru. “Wacana sebagaimana dalam permohonan PUU a quo yang pada intinya meminta kembali ke sistem proporsional tertutup dalam pemilu adalah sebuah kemunduran demokrasi,” imbuh Risky.
Kemudian, Partai Nasdem menilai sistem proporsional terbuka sebagai praktik demokrasi yang ideal karena sistem proporsional terbuka memungkinkan beragam latar belakang sosial seseorang untuk bisa terlibat dalam politic electoral. “Dengan sistem semacam ini pula warga bisa pula mewanai proses politik dalam tubuh partai. Proses demokrasi Indonesia adalah suatu sistem yang terus berkembang dari masa ke masa, namun sepatutnya memundurkan yang telah maju tetapi memperbaiki dan menata ulang hal yang masih menjadi kelemahan atau kekurangan saja,” tandasnya.
Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.
Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (*)