Pekan-pekan terakhir saya bersama tim holding bertemu dengan jajaran pimpinan Harian Pare Pos di Parepare dan pimpinan Harian Ujungpandang Ekspres (Upeks) di Graha Pena, Makassar.
Oleh: Suwardi Thahir
Pertemuan bertujuan mendorong kedua media tetap eksis dan bertumbuh karena didukung kekuatan yang spesifik. Upeks tajam di segmen, sedang Pare Pos terbit di wilayah yang tidak dikuasai penerbitan lain.
Di Sulsel, Upeks tunggal di segmen umum dengan penguatan berita ekonomi yang menyasar pembaca berlatar belakang pelaku ekonomi, dan Pare Pos sebagai tuan rumah di Ajatappareng (Parepare, Barru, Pinrang, Sidrap, Enrekang) ditambah Soppeng dan Wajo.
Pare Pos dan Upeks menjadi perhatian karena sebagai pemegng saham, holding wajib memastikan keduanya telah memilih orang yang tepat. Pare Pos dan Upeks baru saja melakukan RUPS dan menunjuk direksi baru `yang bertugas selama 12 bulan ke depan.
Gambaran umum yang ada sekarang adalah tiras media konvensional dan pemirsa televisi menurun karena peralihan konsumsi media ke digital, khususnya generasi milenial. Pendapatan iklan dan koran pun menurun.
Dalam kondisi ‘prihatin’, media konvensional membutuhkan pemimpin yang mampu meningkatkan kinerja karyawan untuk bersama-sama menghadapi tantangan. Untuk meningkatkan kinerja karyawan yang dibutuhkan adalah model kepemimpinan transformatif.
Pemimpin yang transformatif memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan besar dan positif, meningkatkan motivasi dengan memperhatikan kebutuhan dan membantu mencapai kinerja optimal. (Burn, 1978 dalam Northose. 2013).
Ketika pangsa menyempit dan cashflow tidak kokoh menopang biaya operasional, maka manajemen akan melakukan sistem “injak kaki”. Manajemen operasi akan menekan bagian di bawahnya ngotot menjual untuk menyegarkan aliran operasional.
Sekarang beban pimpinan media tidak ringan. Mereka tak lagi bisa berleha-leha seperti era sebelumnya. Mereka harus menjadi pendobrak kebuntuan yang ada. Untuk itu, terpilih sosok yang dinilai kapabel, yakni Mappiar di Pare Pos dan Buyung Maksum untuk memimpin Upeks.
Buyung memulai debut dengan sentuhan perencanaan berbasis SWOT, menggeledah ke dalam dan membaca kondisi kekinian. SWOT, akronim: Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats.
SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats).
Dengan menggeledah ke dalam, kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan Upeks akan terlihat secara tajam, fokus dan terinci. Ini selaras dengan taktik perang Sun Tzu, ahli strategi militer Cina klasik, 2.500 tahun silam yang menekankan pada pengenalan diri, pemahaman kemampuan yang dimiliki, siapa lawan dan di mana medan tempurnya.
Bagi Upeks, SWOT, adalah cara terbaik memahami dirinya, sekaligus menilai lawannya. Namun lawan/tantangan telah berubah, bukan lagi sesama media konvensional, melainkan platform yang wujudnya multi face.
Di situ ada portal online, agregator seperti Babe dan mesin pencari Google, medsos, e-commerce serta generasi milenial. Ini mirip kasus perusahaan taksi yang digerogoti platform; Go-Jek dan Grab.
Pare Pos di bawah kendali Mappiar telah melakukan pendekatan ke “penguasa” wilayah di Ajjatapareng, menemui walikota, para bupati dan meningkatkan motivasi.
Karyawan yang termotivasi akan bekerja optimal, meluangkan lebih banyak waktu di kantor, mengurangi absensi dan turnover. Kami rapat dengan Pare Pos, Selasa, 25 Februari dan Upeks, Senin, 2 Maret 2020.
Memadukan SWOT dan strategi perang Sun Tzu hanya salah satu yang bisa saya ungkap di sini. Masih banyak strategi lain yang kami suntikkan ke kepala manajemen puncak dan menengah yang mengelola kedua media.
Terpenting bagi Upeks dan Pare Pos adalah tajam melihat dan mengamati perubahan serta efisien. Rajin membangun dan memperbaiki relasi, melakukan adaptasi, tetap menjadikan media konvensional sebagai pewarta kebenaran yang menyediakan panggung utk menyampaikan saran, kritik, solusi sekaligus media yang menghibur.(*)