Di tengah derasnya arus informasi di era digital, masyarakat kini menghadapi tantangan baru: membedakan antara wartawan profesional yang bekerja dengan kode etik jurnalistik dan wartawan abal-abal yang sering kali hanya mengejar keuntungan pribadi.
Tantangan ini terutama dirasakan oleh mereka yang memiliki jabatan publik seperti kepala dinas, kepala desa, kepala sekolah, hingga kepala daerah dan pejabat lainnya, yang sering menjadi sasaran ulah oknum tidak bertanggung jawab.
Pengalaman buruk, seperti pemerasan oleh individu yang mengaku sebagai wartawan, telah menciptakan rasa trauma di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, memahami bagaimana mengenali wartawan kredibel menjadi langkah penting dalam menjaga integritas informasi yang diterima.
Peran Penting Wartawan di Era Informasi
Ade Cahyadi, seorang wartawan sekaligus figur yang ditunjuk oleh Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Pusat untuk menyusun perubahan pengurus daerah di Sulawesi Selatan, menyoroti pentingnya kode etik jurnalistik sebagai landasan utama profesi ini. Menurutnya, wartawan profesional tidak hanya bertugas menyampaikan berita, tetapi juga memainkan peran penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas di masyarakat.
“Pers adalah pilar keempat demokrasi. Tugas wartawan tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga melindungi kepentingan publik dengan memberikan informasi yang akurat dan terpercaya,” ujar Ade.
Membedakan Wartawan Profesional dan Abal-Abal
Ade menjelaskan beberapa ciri utama yang dapat membantu masyarakat mengenali wartawan profesional dan abal-abal.
Ciri-Ciri Wartawan Profesional:
1. Identitas Resmi: Wartawan profesional memiliki kartu pers lengkap dengan nama, foto, nomor kartu, dan nama media. Identitas ini dapat diverifikasi melalui media tempat mereka bekerja atau Dewan Pers.
2. Media Berbadan Hukum: Mereka bekerja di media yang memiliki reputasi baik dan berbadan hukum, seperti koran, televisi, atau portal berita terpercaya.
3. Teregistrasi di Dewan Pers: Namanya terdaftar di organisasi pers atau memiliki akreditasi dari lembaga resmi.
4. Kompetensi yang Jelas: Wartawan profesional umumnya telah melalui uji kompetensi dengan jenjang muda, madya, hingga utama.
5. Etika Jurnalistik yang Tinggi: Menjunjung prinsip independensi, akurasi, berimbang, dan menghindari berita palsu atau provokatif.
Ciri-Ciri Wartawan Abal-Abal:
1. Identitas Tidak Resmi: Tidak memiliki kartu pers atau menggunakan identitas yang tidak valid.
2. Media Tidak Kredibel: Mengklaim bekerja di media yang tidak dikenal atau fiktif.
3. Tidak Teregistrasi: Tidak tercatat di Dewan Pers atau organisasi pers lainnya.
4. Perilaku Tidak Etis: Bertindak memaksa, mengancam, atau tidak sopan dalam interaksi.
5. Minim Pengetahuan: Tidak memiliki pemahaman mendalam tentang topik yang mereka liput.
Langkah Waspada Menghadapi Wartawan Abal-Abal
Mantan Pimpred Parepos itu juga memberikan panduan bagi masyarakat agar terhindar dari ulah wartawan abal-abal:
– Periksa Identitas Resmi: Jangan ragu untuk meminta kartu pers dan memverifikasinya di website dewan pers.
– Cek Media: Pastikan media tempat wartawan tersebut bekerja adalah media yang kredibel.
– Jangan Takut Menolak: Jika merasa ada yang tidak beres, tolaklah permintaan wawancara dengan tegas.
– Laporkan ke Dewan Pers: Jika merasa dirugikan, segera laporkan oknum tersebut untuk tindakan lebih lanjut.
Pentingnya Memahami Kode Etik Jurnalistik
Ade yang juga merupakan pemegang kartu UKW Utama pertama di Kota Parepare ini juga menekankan bahwa wartawan harus berpegang teguh pada 11 pasal dalam kode etik jurnalistik. Di antaranya adalah menjaga independensi, tidak menyebarkan berita bohong, melindungi kerahasiaan sumber, serta memberikan hak jawab yang proporsional.
“Kami sebagai wartawan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan tidak hanya benar, tetapi juga bermanfaat bagi publik,” kata Ade.
Membangun Budaya Informasi yang Berkualitas
Dalam era yang dipenuhi dengan peluang dan tantangan digital, masyarakat perlu semakin cerdas dalam memilah informasi. Dengan memahami perbedaan antara wartawan profesional dan abal-abal, kita dapat melindungi diri dari manipulasi informasi dan turut serta dalam membangun budaya informasi yang sehat.
Informasi adalah kekuatan, dan dengan kekuatan itu hadir tanggung jawab. Mari bersama menjadi konsumen informasi yang kritis dan mendukung media yang bekerja untuk kebenaran.(*)