Prabowo Menatap Jalan Kerakyatan

Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto bersama Presiden Federasi Rusia, Vladimir Putin di Istana Kremlin

Sejak era perjuangan kemerdekaan, tokoh-tokoh bangsa Indonesia telah memiliki visi yang jelas mengenai sistem ekonomi yang diinginkan. Di masa pra-kemerdekaan dan awal kemerdekaan, tokoh-tokoh seperti Hos Cokro Aminoto, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir mendukung sistem ekonomi berbasis kerakyatan, dengan tujuan mencapai kesejahteraan rakyat secara merata.

Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno, memperjuangkan sistem ekonomi yang mengutamakan kepentingan rakyat melalui kebijakan sosialisme yang terintegrasi dengan ideologi Pancasila. Bung Karno meyakini bahwa kekayaan sumber daya alam harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau asing.

Bacaan Lainnya

Moh. Hatta, sebagai wakil Presiden dan seorang ekonom, ia dimasanya telah mengusulkan pentingnya kontrol negara atas ekonomi, terutama sektor-sektor strategis, untuk memastikan distribusi kekayaan yang adil dan mengurangi ketergantungan pada modal asing. Kemudian Perdana Menteri di era Pemerintahan Soekarno, Sjahrir telah mendukung reformasi ekonomi yang bertujuan untuk redistribusi kekayaan dan pengembangan industri lokal guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif di jamannya.

Orientasi ekonomi masa itu yang condong ke arah sosialis sejatinya adalah arah yang sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa era sebelum dan sesudah kemerdekaa. Para pemimpin menyadari bahwa kapital dan kapitalis juga dibutuhkan dalam perekonomian untuk mendorong pertumbuhan dan investasi, dengan menekankan perlunya kapitalisme yang tunduk pada konstitusi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Kebijakan Ekonomi Jokowi: Kapitalisme dan Kepentingan Oligarki

Di bawah kepemimpinan Presiden Ir. Joko Widodo (Jokowi), berbagai kebijakan ekonomi berorientasi pada kapitalis. Meskipun beberapa kebijakan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, namun keputusan tersebut lebih menguntungkan elit pejabat dan pemodal daripada rakyat kecil.

Hal itu dapat dilihat dari adanya keputusan pemerintah Jokowi terkait Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertujuan untuk menyederhanakan regulasi dan menarik investasi asing. Kebijakan ini mengurangi hak-hak pekerja dan melonggarkan aturan lingkungan, yang dinilai lebih menguntungkan perusahaan besar dan investor daripada masyarakat. Keputusan itu mendapat penolakan rakyat, khususnya kaum buruh pekerja, terjadi aksi demonstrasi besar-besaran pada Oktober 2020.

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Proyek ini didanai oleh China Development Bank dan dilaksanakan oleh konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan China. Ironisnya proyek ini mengalami pembengkakan biaya dan penundaan, serta dianggap lebih menguntungkan investor asing daripada masyarakat setempat. Faktanya ydng timbul adalah biaya proyek yang awalnya diperkirakan sekitar $6 miliar meningkat menjadi lebih dari $8 miliar pada tahun 2021.

Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dirancang untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja dengan insentif pajak. Namun kemudian banyak KEK tidak memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat lokal dan lebih menguntungkan perusahaan besar dan investor asing. Bukti konkritnya adalah, KEK Morowali lebih banyak mempekerjakan tenaga kerja asing daripada lokal, menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat setempat.

Keputusan pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur dengan biaya yang diperkirakan mencapai $32 miliar, dapat dimaknai sebagai proyek ambisi presiden, pasalnya, proyek ini banyak dikritik karena lebih menguntungkan pengembang properti dan kontraktor besar yang dekat dengan pemerintah daripada rakyat kecil.

Selain itu, proyek ini dikhawatirkan akan merusak lingkungan dan tidak menjawab masalah mendesak di Jakarta seperti banjir dan kemacetan. Banyaknya perusahaan besar yang mendapatkan kontrak untuk pembangunan infrastruktur di ibu kota baru ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya kolusi antara pemerintah dan oligarki. Kekhawatiran kuatnya kolusi ditandai oleh Presiden Jokowi keluarkan aturan HGU (Hak Guna Usaha) selama 190 tahun bagi investor yang masuk ke IKN.

Memastikan Ekonomi Kerakyatan

Untuk mengatasi dampak negatif dari kebijakan ekonomi yang tidak sesuai dengan konstitusi, perlu adanya penegakan ekonomi kerakyatan. Konsep ini telah digagas oleh para tokoh bangsa sebelum kemerdekaan dan masa kemerdekaan, salah satunya seperti konsep Prof. Soemitro Djojohadikusumo dan Prof. Sarbini Sumawinata, yang menekankan pentingnya pengelolaan ekonomi yang berorientasi pada kepentingan rakyat dan distribusi kekayaan yang adil.

Konsep ekonomi Prof. Soemitro Djojohadikusumo menekankan pentingnya industrialisasi berbasis kerakyatan, di mana pemerintah berperan aktif dalam mengembangkan industri kecil dan menengah serta mendukung koperasi. Sedangkan Prof. Sarbini Sumawinata, mengusulkan perlunya pemberdayaan koperasi dan UMKM sebagai pilar utama ekonomi nasional, serta mengurangi ketergantungan pada modal asing.

Kedua konsep ini yang paling tepat untuk mengembalikan keadaan ekonomi dari kita dari kehancuran, dimana kendali dan kekayaan akan berpusat pada sekelompok kapitalis oligarki dan tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dengan demikian rakyat tak berdaya dalam ekonomi, termasuk menentukan masa depan bangsa dan negara.

Komitmen Pemerintahan Prabowo

Nasib masa depan Indonesia akan sangat bergantung pada keputusan Presiden Prabowo Subianto. Apakah beliau akan berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia atau justru melanjutkan kebijakan yang telah terbukti menyimpang dari prinsip ekonomi kerakyatan? Tentunya kita tidak mengharap Prabowo kelak berada diposisi yang berhadapan dengan rakyatnya sendiri, mereka yang mendukung dan memilihnya pada Pilpres 2024.

Sebagai The Last Emperor “Kaisar Terakhir” dalam perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih baik, Presiden Prabowo berdiri di garis depan dalam menentukan arah kita. Dalam konteks ini, beliau adalah pemimpin yang harus memihak kepada seluruh rakyat Indonesia, baik yang mendukung maupun yang menolak dalam Pilpres 2024. Ini adalah momen krusial, di mana keputusan yang diambil tidak hanya akan mempengaruhi nasib bangsa saat ini, tetapi juga akan menentukan tantangan yang akan dihadapi oleh pemimpin selanjutnya.

Saatnya untuk bertindak tegas dan berani. Jenderal (Purn) Prabowo Subianto harus membela 280 juta rakyat Indonesia dan melindungi kekayaan sumber daya alam kita dengan kembali pada sistem ekonomi kerakyatan, serta memastikan penerapan rule of law secara adil dan tegas. Ini adalah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan masa depan bangsa dan mewujudkan perubahan menuju kemajuan dan keadilan sosial yang nyata, bukan sekadar mimpi.

Berkaca pada Rule of Law di Rusia

Sebagai referensi dalam mengembalikan ekonomi dari keterpurukan diperlukan langkah kebijakan dan penerapan rule of law. Seperti yang dilakukan di Rusia setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1990-an, saat itu oligarki di Rusia memperoleh kekayaan besar melalui privatisasi aset negara.

Dimasa kepemimpinan Vladimir Putin, pada tahun 2003, Mikhail Khodorkovsky, seorang oligarki minyak, ditangkap dan dihukum dengan tuduhan praktek ekonomi yang rugikan rakyat dan Rusia saat itu. Langkah ini menunjukkan bahwa oligarki tidak kebal terhadap hukum, mencerminkan penerapan rule of law berjalan dengan tegas dan adil.

Putin memberikan perlindungan hukum kepada oligarki selama mereka komitmen dan konsisten mendukung dan menjalankan kebijakan pemerintah dan tidak menentang otoritas negara. Hal ini membantu stabilitas ekonomi dan memberikan kepastian hukum bagi investasi.

Oligarki yang sehat selalu memerlukan kepastian hukum untuk melindungi aset dan investasi mereka, dengan pelaksanaan Rule of law yang tegas memastikan kontrak dan hak kepemilikan dihormati. Legitimasi Internasional, kepastian hukum daoat membantu meningkatkan reputasi negara dan menarik investasi internasional.(*)

Pos terkait