TANJUNG BATU LAUT– Di bawah langit Negeri Jiran, cinta tumbuh tanpa batas, merangkai kisah dua hati yang berakar kuat pada tradisi. Pernikahan Faras Denada binti Tamir dan Al Hafiidzu bin Amin bukan sekadar penyatuan dua insan, tetapi juga sebuah manifestasi dari kerinduan dan kesetiaan terhadap warisan budaya.
Dalam lanskap urban yang terus berubah, mereka memilih untuk tetap menjaga tradisi Bugis sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka. Seperti halnya para leluhur Bugis yang dahulu mengarungi samudra demi membangun kehidupan baru, para perantau Bugis di Malaysia menjalani perjalanan serupa, membawa serta warisan budaya mereka ke tanah yang jauh.
Di tengah arus modernisasi, Tanjung Batu Laut, Kampung Pukat Tawau, Malaysia pernikahan ini menjadi bukti bahwa adat bukanlah sesuatu yang tergerus oleh waktu, tetapi tetap hidup dalam setiap langkah dan ritual.
Tradisi yang Menjembatani Masa Lalu dan Masa Depan
Dari bara’ka, prosesi adat sebelum pernikahan, hingga lantunan doa dalam bahasa Bugis yang mengiringi langkah kedua mempelai, setiap elemen pernikahan menghidupkan kembali suasana kampung halaman di tengah hiruk-pikuk kehidupan perantauan. Bukan hanya sebagai simbol perayaan, tetapi juga sebagai penegasan bahwa identitas Bugis tetap mengalir dalam nadi mereka.
Kemeriahan pesta semakin terasa dengan kehadiran kerabat dari Indonesia yang sengaja datang demi merayakan hari bahagia ini. Tak sekadar menghadiri pernikahan, kedatangan mereka menjadi simbol ikatan keluarga yang tetap kuat meskipun dipisahkan oleh batas geografis. Di setiap pelukan dan sapa, terkandung kehangatan kampung halaman yang melebur dengan kehidupan di rantau sebuah nostalgia yang menghubungkan generasi yang telah lama merantau dengan akar yang tak pernah terputus.
Nunukan, Kalimantan Utara, yang menjadi wilayah batas antara Indonesia dan Tawau, Malaysia, memiliki peran penting dalam dinamika perantauan Bugis. Sebagai titik perlintasan utama, banyak perantau Bugis yang menjadikan Nunukan sebagai pintu masuk sebelum berlayar menuju negeri jiran. Hubungan sosial dan ekonomi antara kedua wilayah ini semakin memperkuat ikatan komunitas Bugis di perantauan.
Menariknya, hampir seluruh elemen pernikahan membawa sentuhan budaya Bugis yang begitu kental. Mulai dari nasihat pernikahan dalam bahasa Bugis, hingga musik tradisional yang mengalun lembut, membawa ingatan kembali ke tanah leluhur. Setiap nada dan petuah bukan sekadar bagian dari ritual, tetapi juga pengingat bahwa di mana pun mereka berada, Bugis tetap berdenyut dalam jiwa mereka.
Dalam nasihatnya, Ustadz H. Husain menekankan pentingnya membangun rumah tangga yang kokoh berdasarkan nilai-nilai agama dan keluarga. Dengan logat Melayu yang khas, ia mengingatkan bahwa memilih pasangan bukan hanya soal rupa, tetapi juga soal nilai-nilai yang dipegang teguh dalam kehidupan.
Tak hanya bahasa dan pakaian adat, kuliner khas Bugis turut memperkaya suasana pernikahan. Hidangan seperti barongko, jalangkote, bakso, hingga roti kosong atau canay tersaji di meja, menggugah kenangan akan kampung halaman bagi para tamu dari seberang. Percakapan dalam bahasa Bugis tetap menggema, menjadi penghubung antara generasi yang masih fasih dengan mereka yang mulai bercampur dengan logat Melayu.
“Sudah terasa, kampung ini kental Bugis kupanya,”* ujar Maddi, seorang tamu dari Nunukan, Kalimantan Utara yang hadir dalam pernikahan ini. Ungkapan ini mencerminkan bagaimana identitas Bugis tetap terjaga meski hidup di tanah rantau.
Budaya yang Harus Dirawat, Bukan Hanya Dikenang
Faras dan Al Hafiidzu telah menjadi simbol perjalanan baru dalam menjaga kebersamaan para perantau. Pernikahan mereka bukan hanya peristiwa sakral, tetapi juga perayaan identitas yang terus mengakar, sebuah pengingat bahwa budaya tidak boleh menjadi sekadar kenangan, tetapi harus dirawat dan diwariskan.
Dalam dunia yang terus berubah, mereka membuktikan bahwa akar budaya tak pernah terputus. Ia menjadi pengikat antara masa lalu dan masa depan, memastikan bahwa di mana pun kaki berpijak, warisan budaya tetap hidup dan bernapas.(*)