PAREPARE– Sebanyak 127 Pekerja Migran Indonesia (PMI) dideportasi dari Tawau, Malaysia, dimana 68 orang dijadwalkan tiba di Pelabuhan Nusantara. Namun, dari jumlah tersebut, 28 orang dilaporkan telah turun dari kapal saat berada di Nunukan, sehingga yang akhirnya tiba di Parepare hanya 40 orang.
Menurut Koordinator Pos Pelayanan Pelindungan PMI (P4MI) Parepare, Laode Nur Slamet, kepulangan para pekerja ini tidak disertai dukungan resmi dari pemerintah daerah. Hal ini mengakibatkan banyak dari mereka harus mencari jalan pulang sendiri atau bergantung pada keluarga mereka untuk penjemputan.
PMI dari Berbagai Daerah Tanpa Kepastian Pemulangan
Data dari Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) menunjukkan bahwa para PMI yang dideportasi berasal dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Sulawesi Barat (Polewali Mandar dan Majene), Sulawesi Selatan (Bone, Tana Toraja, Enrekang, Bantaeng, Soppeng, Bulukumba, Makassar, Pinrang, Sidrap, dan Sinjai), Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, serta dari NTT dan NTB.
Meski perjalanan mereka menuju Indonesia dilakukan melalui KM Thalia dengan rute Nunukan-Parepare, setibanya di tujuan mereka harus menghadapi kenyataan pahit, tidak ada penyambutan resmi atau bantuan pemulangan ke kampung halaman.
Salah satu PMI yang dideportasi asal Polewali Mandar, Darma, menceritakan pengalaman memilukan yang dialaminya selama berada di Malaysia. Ia ditahan selama kurang lebih enam bulan, bahkan terpaksa melahirkan putranya di dalam tahanan.
“Saya ke Malaysia karena suami bekerja di sana sebagai tenaga kerja. Namun, dalam operasi yang dilakukan pemerintah kerajaan, saya ditangkap karena tidak mampu memperlihatkan dokumen resmi,” ungkapnya singkat.
Untuk kepulangannya kali ini, Darma beruntung bisa dijemput langsung oleh keluarganya. Namun, tidak semua PMI memiliki keberuntungan serupa. Banyak yang masih terkatung-katung, mencari cara agar bisa kembali ke kampung halaman mereka.
Ketiadaan Fasilitas dan Efisiensi Anggaran
Laode Nur Slamet menyoroti bahwa PMI ilegal tidak memiliki akses fasilitas transportasi untuk pulang. Ia bahkan harus menggunakan kendaraan pribadinya untuk membawa beberapa PMI ke kantor sebelum akhirnya menghubungi keluarga mereka agar dijemput.
“Kami hanya bisa membantu sebisa mungkin. Terakhir kali fasilitasi dilakukan oleh pemerintah adalah Februari 2025, tetapi setelah itu tidak ada lagi karena alasan efisiensi anggaran. Di DPR RI, hanya ada dua kategori PMI yang masih mendapat fasilitasi pemulangan, yakni yang sakit dan meninggal dunia,” jelasnya.
Di sisi lain, Staf Ahli Kementerian P2MI sekaligus mantan Kepala BP3TKI Makassar, Mohammad Agus Bustaleb, mengungkapkan keprihatinannya atas minimnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap warganya yang kembali dari luar negeri dalam kondisi sulit.
“Kepulangan para PMI ini bukan sekadar angka statistik, mereka adalah pahlawan devisa. Para kepala daerah seharusnya lebih memahami situasi ini dan mengalokasikan anggaran untuk mendukung mereka,” imbaunya.
Minimnya dukungan bagi PMI yang dideportasi menyoroti perlunya kebijakan yang lebih tegas dan koordinasi lintas instansi agar mereka tidak dibiarkan menghadapi ketidakpastian setelah kembali ke tanah air. Langkah seperti penyediaan fasilitas transportasi dan program reintegrasi sosial dapat menjadi solusi jangka panjang dalam menangani permasalahan ini.(*)