Mengukur Kapasitas dan Kapabilitas Rumah Sakit Hadapi Pandemi

KILASSULAWESI.COM,PAREPARE– Kesiapan di garda terakhir telah dan terus dilakukan, diharapkan dapat menurunkan angka kematian pasien COVID-19. Kemampuan fasilitas kesehatan di Indonesia punya peranan penting
dalam menghadapi pandemi COVID-19, khususnya dalam kaitannya dengan perawatan dan
pengobatan pasien COVID-19. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan untuk
menambah rasio ketersediaan ruang khusus pasien COVID-19, dari 10 persen menjadi 30-40
persen demi menunjang kesiapan ruangan dan unit perawatan rumah sakit dalam menghadapi
kondisi pandemi yang sangat dinamis.

Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV (K), MPH selaku Direktur Utama PT Pertamina Bina Medika Indonesia Healthcare Corporation (PBM IHC) mengungkapkan, sejak
Februari 2020, rumah sakit khususnya yang milik pemerintah sudah mulai persiapan. “Di Februari 2020 kami mengadakan Medical Forum Indonesia Healthcare Corporation dengan mengundang para pakar terkait bagaimana penanganan COVID-19. Hasilnya ketika Maret Indonesia ada kasus, kami sudah menyiapkan, paling tidak terkait knowledge dan skill-nya, serta sudah berlatih menggunakan APD,” ujarnya, Kamis 28 Januari 2021.

Bacaan Lainnya

Saat ini, ada ada 73 rumah sakit yang tergabung dalam IHC, dari Aceh sampai Papua, termasuk
dua rumah sakit pendidikan, yaitu RS Universitas Indonesia dan RS Ukrida. “Pada waktu itu, kami
telah mengambil kebijakan tentang konversi tempat sebesar 40-50 persen tidur untuk alokasi
penanganan pasien COVID-19,” jelasnya. Adapun, lanjutnya, angkanya variatif dari satu rumah sakit dengan yang lainnya karena
tergantung dengan jumlah yang terpapar/tingkat infeksi kesi di daerah masing-masing.” Ada yang zona merah ada yang hijau. Yang zona merah rata-rata konversi 50 persen dengan jumlah penambahan ICU 25 persen dari ruang yang terkonversi jadi perawatan COVID-19. Kemudian
yang hijau konversi 25 persen dengan penambahan ICU 10-15 persen dari ruangan yang terkonversi,” kata dr. Fathema.

Jumlah ruangan khusus COVID-19 juga bertambah terus seiring dinamika pandemi. “Total RS
BUMN memiliki lebih dari 7 ribu tempat tidur dan telah dikonversi lebih dari 3.500an tempat tidur
untuk isolasi atau perawatan COVID-19. Sementara ada 512 bed ICU COVID, sudah termasuk
penambahan 50 bed ICU di RSPP Simprug. Ini adalah upaya IHC merespon permasalahan di
lapangan. Kemudian kami telah melakukan hampir 1 juta tes sejak April 2020,” tuturnya. Kami, tambahnya, berusaha untuk tidak ada pasien yang ditolak ketika datang ke rumah sakit. “Caranya dengan memastikan aliran layanan lancar dari IGD, masuk rawat isolasi atau ICU hingga pulang. Kalaupun perlu rawatan lain kami ada hotel atau penginapan yang bisa dipakai sebagai safe house. Kemudian jika ada yang penuh juga bisa kami carikan ke jaringan rumah sakit yang lainnya sehingga aliran layanan terkontrol. Kami juga bekerjasama dengan RS
swasta,” ungkapnya.

Terkait Bed Occupancy Rate (BOR), dr. Fathema menjelaskan bahwa biarpun tempat tidur terus
ditambah, BOR tetap ikut naik. “Saat ini selalu di angka 80-90 persen. Artinya meski tambah terus ruang isolasi atau ICU di RS, BOR tetap tinggi dan naik, artiinya memang terjadi peningkatan
jumlah pasien yang terkena COvid 19-bertambah secara signifikan. Penambahan pasien ini tidak
hanya bisa direspon dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas RS saja. Justru yang harus kita lakukan lebih giat lagi adalah 3T-nya (Tracing, Testing, Treatment) Kemudian bagaimana
pelayanan di primary health care-nya, perlu penguatan” ungkapnya.

Untuk tracing dan testing, tambahnya, perlu berbarengan dengan pemerintah daerah dan primary health care seperti Puskesmas. Bagaimana memastikan orang yang tertular (status kontak) sudah diisolasi terlebih dahulu sebelum hasil tesnya keluar, karena kalau menunggu hasil tes baru dilakukan isolasi, maka sudah terlambat dalam hal pencegahan penularan.
“Perlu dipahami bahwa testing, tracing, dan isolasi adalah langkah awal mengurangi jumlah
hunian di rawat inap dan jumlah kematian ICU. Jadi sebenarnya RS ini adalah garda atau terminal
terakhir. Tapi yang disebut garda depan itu adalah primary healthcare seperti puskesmas dan klinik-klinik yang perannya harus ditingkatkan,” jelasnya.

Peralatan dan SDM Mencukupi

Mengatasi kekurangan jumlah tenaga kesehatan (nakes) dalam menghadapi pandemi COVID-
19, Kemenkes memberikan aturan relaksasi yang mengijinkan nakes tanpa menunggu Surat Tanda Registrasi (STR) boleh langsung bekerja. “Yang lulus tidak perlu menunggu STR sehingga mereka bisa kami terima sebagai pelaksana keperawatan tapi tentunya dengan pelatihan supaya aman dalam bekerja,” ungkap dr. Fathema.

Terkait keamanan nakes, dr. Fathema mengungkapkan bahwa poin ini adalah hal yang sangat
penting. “Jadi sebelum pegang pasien, employee safety harus disiapkan. Bagaimana nakes
mengimplementasikan protokol kesehatan. Memastikan penggunaan APD dan disiplin protokol kesehatan. Kami juga encourage dengan memberikan gizi cukup dan suplemen tambahan. Selain itu rutin dilakukan pengetesan kesehatan,” paparnya.

Health Safety Security Environment (HSSE) adalah Unit di Pertamina Bina Medika IHC bisa
memantau kondisi nakes. “Kemudian untuk yang sakit kami treatment dan isolasi termasuk
keluarganya. Kemudian tes PCR kepada yang melakukan kontak erat dengan yang bersangkutan. Untuk tempat tinggal nakes, kami sediakan hotel untuk menginap sehingga keamanan dan kesehatan lebih terjamin,” katanya.

Dalam menjalankan pengobatan COVID-19, PMB IHC menggunakan konsep pengobatan dengan standar mengatasi dengan baik masalah Circulation, Inflammation, Coagulation (pembekuan darah), dan Oxygenation (CICO). “Alat kedokteran kami cukup lengkap, kami memiliki mesin CRRT dan Hemodialisas sebagai pencuci darah atau pencegahan terjadinya badai Cytokin. Kemudian alat canggih lainnya seperti memonitor sirkulasi, memiliki obat cukup,
serta alat dan teknologi yang mendukung,” ujarnya.

Selain itu kompetensi dokter disamakan levelnya sesuai standar. “Setiap malam sekitar 30-40 dokter melakukan diskusi kasus yang dianggap sulit untuk mendapatkan solusi terbaik bagi
pasien,” tuturnya. Dengan kesiapan yang telah dan terus dilakukan, obat yang lengkap, pengawasan yang baik, serta alat dan teknologi yang mendukung harapannya akan menurunkan angka kematian.(*/ade)

 

Pos terkait