KILASSULAWESI.COM,PAREPARE– Vaksin COVID-19 AstraZeneca akhirnya akan mulai didistribusikan untuk digunakan dalam program vaksinasi COVID-19 pemerintah. Diperbolehkannya vaksin
AstraZeneca untuk dipergunakan merujuk pada keterangan pers bersama yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Jumat 19 Maret, lalu.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan vaksin AstraZeneca tidak terkait dengan risiko pembekuan darah atau kejadian penggumpalan darah secara keseluruhan
(tromboemboli) pada mereka yang menerima vaksin. Lebih lanjut, BPOM juga menyatakan bahwa manfaat vaksin dalam penanganan COVID-19 lebih besar daripada risiko efek sampingnya.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyampaikan bahwa vaksin AstraZeneca dibolehkan untuk digunakan (mubah) mengingat manfaat yang diberikan dari vaksin ini, serta dengan pertimbangan kondisi darurat yang terjadi saat ini akibat pandemi COVID-19. MUI juga menyatakan umat Islam di Indonesia untuk wajib mengikuti program vaksinasi pemerintah agar kita semua segera keluar dari pandemi.
Dr. dr. M. Atoillah Isfandi, M.Kes, Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, memberikan pandangan terkait dengan konteks kehalalan pada vaksin COVID-19 AstraZeneca. Menurut beliau, secara sederhana, ada 3 hal yang menjadi pertimbangan haramnya suatu vaksin. “Bahannya mengandung bahan haram atau dibuat dengan cara yang haram, dalam proses pembuatan vaksin itu melanggar hukum syariah, dan
tidak jelas manfaat suatu vaksin apalagi jika mudharatnya jauh lebih besar. Jadi hukum haram
tidak hanya dipandang dari kandungan bendanya, tetapi juga pada proses maupun manfaatnya,” terang Dr. Atoillah.
Beliau juga kemudian menjelaskan 5 kaidah yang menjadi pertimbangan dalam menentukan
halal dan haramnya suatu vaksin. Kaidah-kaidah ini beliau sarikan dari berbagai dalil yang ada di dalam Al-Quran dan Hadist.
Menurut Dr. Atoillah yang pertama adalah kaidah Yakin. “Jika ini masih tahap percobaan seperti clinical trial fase-1, dan setelah itu langsung dikomersilkan atau langsung dipakai, maka itu melanggar kaidah yang pertama dan itu hukumnya haram, meskipun kita memakai benda yang suci,” kata Dr. Atoillah.
Kemudian yang kedua adalah kaidah Niat. “Artinya, sebagus apapun bendanya, proses
pembuatannya, namun jika tujuannya untuk kemudharatan (keburukan) pasti haram,” tegas
Dr. Atoillah. Lalu yang ketiga adalah kaidah Masyaqqat. “Artinya, jangan sampai dalam proses vaksinasi nantinya menimbulkan penyakit yang lain. Apabila efek samping yang ditimbulkan dari vaksinasi ini cukup besar, maka vaksin itu menjadi haram. Misalkan setelah divaksinasi nantinya akan menyebabkan kanker, maka hal itu tidak boleh,” ujar Dr. Atoillah.
Seterusnya yang keempat adalah kaidah Adh dhararu, maksudnya kaidah kedaruratan. Jadi
dalam kondisi darurat, hal-hal yang menyebabkan haram itu kemudian dapat gugur. “Jadi meski ada unsur babinya, namun karena hal ini darurat, maka itu menjadi halal. Hingga nanti menemukan vaksin yang tidak menggunakan tripsin dari babi, maka vaksin yang ada hari ini tetap halal. Saat nanti ditemukan vaksin dengan tripsin dari sapi atau status pandemi COVID-19 ini berubah menjadi endemi saja, barulah dapat dikatakan kedaruratan dari permasalahan ini sudah lewat. Maka ketika vaksinasi COVID-19 ini menjadi elektif, disitulah kemudian masyarakat bisa memilih vaksin yang benar-benar halal. Pernyataan bahwa vaksin COVID-19 AstraZeneca ini haram tetapi boleh digunakan dari MUI menurut saya berasal sudut
pandang ini,” papar Dr. Atoillah.
Dan terkahir yang kelima adalah kaidah Al Urf. Ini adalah terkait dengan kearifan lokal. “Saya
kira kalau poin yang ini kurang cocok untuk diimplementasikan dalam vaksin. Al Urf ini contohnya acara selamatan. Selama itu tidak melanggar akidah intinya, boleh,” jelas Epidemiolog yang juga memiliki pemahaman mendalam mengenai agama Islam ini.
Lebih lanjut Dr. Atoillah kembali menjelaskan bahwa tripsin babi yang digunakan dalam proses
pembuatan vaksin AstraZeneca itu dilakukan pada proses awal penanaman untuk menumbuhkan virus pada sel inang. “Setelah virus ditanam kemudian tumbuh, maka virusnya dipanen. Pada proses itu menurut saya, pada dasarnya tidak ada persentuhan lagi antara
tripsin dan si virus karena urusan si tripsin ini hanya dengan media tanamnya. Untuk itu, di produk akhir vaksin COVID-19 AstraZeneca sudah tidak ada unsur babi sama sekali. Ibarat
analoginya jika kita menanam pohon, menggunakan pupuk kandang yang kandungannya
termasuk najis, tetapi ketika menghasilkan buah, maka si buah tidak lantas menjadi najis juga,” tegas Dr. Atoillah. “Kemarin saya juga sudah konfirmasi ulang ke pihak AstraZeneca, dan ternyata mereka tidak melibatkan tripsin dalam proses pemisahan. Tripsin itu hanya digunakan untuk media pembiakan. Jadi menurut saya, vaksin ini lebih aman dan halal,” tambah Dr. Atoillah.(*)