PAREPARE, KILASSULAWESI– Aktivitas
impor pakaian bekas termasuk aktivitas ilegal. Larangan untuk itu sudah termuat dalam sejumlah regulasi, semisal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015.
Karena ilegal, barang bekas impor itu masuk tidak via jalur resmi, semisal di Pelabuhan Nusantara, Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Berbagai modus digunakan untuk menghindari deteksi petugas keamanan demi mengangkut barang impor asal Malaysia yang dibeli dari Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Beberapa waktu lalu, diduga ratusan ball pakaian impor bekas tersebut kembali masuk di Pelabuhan Nusantara. Modus yang digunakan dengan memasukkan barang impor tersebut dengan bungkusan kotak dus.
Ketua Gempar Kota Parepare, H Makmur M Raona menjelaskan, lemahnya pengawasan baik saat pengangkutan dari Nunukan maupun saat tiba di Pelabuhan Nusantara menjadi salah satu pokok persoalan. ” Bea Cukai Parepare sering berdalih jika tak ada barang impor yang masuk ke Pelabuhan Nusantara, karena jalur pelayaran hanya melayani wilayah antar pulau,”ujar pria yang berlatar belakang pengacara tersebut.
Pernyataan itulah yang kerap menjadi alasan, walau didepan mata mereka sendiri melihat aktivitas bongkar muat barang impor asal malaysia tersebut. Dan harus diakui, para pedagang di Parepare kerap berdalih jika mereka akan tetap menjual barang bekas tersebut karena masih sangat banyak peminat akan barang-barang tersebut. Namun, lanjut Makmur, ada ketidaksadaran yang ditimbulkannya.
Ada perbedaan perlakuan antara pedagang barang Malaysia dgn pedagang barang lokal. Pedagang barang Malaysia apakah bayar pajak atau tidak, sampai detik ini kita tidak tahu. Sementara pedagang barang lokal itu sudah pasti bayar pajak PPN dan PPH. ” Ini sudah berlangsung lama, pedagang lokal kalah saing akibat hal tersebut. Pembeli lebih cenderung ke barang barang Malaysia disamping harga terjangkau, kualitas barang impor juga bagus,”bebernya.
Disinilah pedagang barang lokal sulit bersaing, karena jika beli barang bagus tentu harga dan modalnya mahal. ” Kini muncul pertanyaan ? Bagaimana tindakan Pemerintah Kota Parepare dalam hal ini instansi terkait memberikan solusi untuk pedagang barang lokal agar bersaing. Maka baik Bea Cukai maupun Disperindag Kota Parepare, terindikasi selama ini melakukan pembiaran,”jelasnya.
H Makmur membeberkan, kondisi di Kota Parepare dimana para pedagang barang barang impor Malaysia sampai punya toko besar. Pertanyaannya bagaimana dengan perijinan usahanya, apakah Disperindag mengeluarkan izin.
Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah meminta adanya evaluasi dari jajaran bea cukai agar pelaksanaan tata kelola baik ekspor maupun impor dapat lebih baik dan transparan. Menurut dia, masih banyak persoalan dalam pelaksanaan layanan kepabeanan dan cukai di pelabuhan sehingga memunculkan isu adanya mafia pelabuhan.
Kejaksaan Agung tengah intens mengusut dugaan adanya mafia pelabuhan, terutama terkait tekstil seperti cakar dengan memeriksa sejumlah unsur bea dan cukai. Dugaan tersebut memberikan kesan kepada masyarakat bahwa terdapat persoalan dalam tubuh institusi kepabeanan dan cukai.
Berbagai kondisi itu yang disinyalir menjadi pemicu adanya kasus-kasus diskresi yang dilakukan oknum pegawai serta melahirkan kasus transaksi gelap yang menjadi fokus pengusutan Kejaksaan Agung. Dia pun berharap adanya pembenahan dalam tata kelola layanan kepelabuhanan, khususnya di institusi bea cukai, agar makin agresif dalam mengurangi praktek-praktek tidak terpuji di lapangan. Serta meminta kejaksaan ditiap daerah yang memiliki pelabuhan untuk memantau hal tersebut.(*)