Hari ini jagat Pemilihan Kepala Daerah digemparkan dengan dua putusan Mahkamah Konstitusi.
Menjelang pendaftaran calon kepala daerah di akhir Agustus ini, MK mengeluarkan putusan yang
mengubah syarat ambang batang (threshold) pencalonan, dan memaknai syarat umur calon Kepala
Daerah.
Oleh : Prof. Denny Indrayana (Guru Besar Hukum Tata Negara)
Tulisan singkat ini memberi makna dan menjawab konsekwensi hukum dua putusan MK tersebut, yaitu
Nomor 60/PUU-XXII/2024, tentang ambang batas pencalonan (Putusan 60) ; dan putusan Nomor
70/PUU-XXII/2024 tentang pemaknaan syarat umur (Putusan 70).
Yang pertama, kita bahas dulu makna dan konsekwensi Putusan 70, tentang syarat umur, yaitu:
1. Meskipun MK menolak permohonan dua mahasiswa (A. Fahrur Rozi dan Anthony Lee) dalam
Putusan 70, namun MK memberikan pertimbangan hukum yang tegas, bahwa syarat umur diperhitungkan sejak penetapan pasangan calon kepala daerah, bukan sejak pelantikan.
MK mengatakan pemaknaan demikian sudah terang benderang dan tidak perlu diberi penguatan dan penafsiran lain. Dengan menggunakan pendekatan historis, sistematis, praktis, dan komparatif, MK menegaskan pemaknaan syarat umur dihitung sejak penetapan pasangan calon, bukan sejak pelantikan.
2. Kita paham beberapa waktu lalu ada putusan Mahkamah Agung yang memaknai syarat umur dihitung sejak pelantikan pasangan kepala daerah terpilih. Putusan MA itu di ruang publik dianggap membuka peluang pencalonan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, yang saat ini namanya mulai disebut sebagai calon kepala daerah.
3. Dengan putusan MK yang demikian, artinya, peluang Kaesang untuk maju sebagai pasangan
calon kepala daerah pada level provinsi menjadi tertutup, karena syarat umur minimal gubernur adalah 30 tahun. Sedangkan Kaesang saat penetapan calon kepala daerah provinsi, belum berusia 30 tahun. Kecuali yang bersangkutan maju sebagai kepala daerah di level
Kabupaten/Kota, yang syarat umurnya 25 tahun.
4. Jika tetap memaksakan maju sebagai calon kepala daerah, sesuai putusan MA yang memaknai syarat umur dihitung sejak pelantikan, MK menegaskan akan memutus pencalonan yang demikian sebagai tidak sah melalui persidangan sengketa hasil pilkada di Mahkamah
Konstitusi (Lihat Pertimbangan 3.16 Putusan 70).
Selanjutnya, makna Putusan 60 tentang syarat ambang batas pencalonan kepala daerah adalah
sebagai berikut:
1. MK menegaskan putusannya sebelumnya, yang membatalkan dan menyatakan inkonstitusional syarat pencalonan kepala daerah yang hanya diperuntukkan bagi partai politik yang memiliki kursi di parlemen daerah.
Konsep menghormati daulat rakyat, yang telah memberikan suara dalam pemilu, serta keadilan syarat dibandingkan dengan syarat calon
independen, adalah beberapa landasan argumentasi Putusan 70.
2. Putusan 70 menghilangkan syarat kursi, dan hanya mengakui syarat suara sah, dan membatalkan bersyarat Pasal 40 ayat (1), dan membatalkan keseluruhan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada. Konsekuensinya Pasal 40 ayat (2) juga dinyatakan MK tidak berlaku, atau dalam putusan disebutkan ”Pasal 40 ayat (2) UU 10/2016 dan ketentuan lain yang terkait dan terdampak pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan a quo”. (lihat Petimbangan
3.14 Putusan 60).
3. Dalam amar putusannya, MK kemudian memberikan syarat ambang batas yang berbeda-beda
persentasenya untuk setiap wilayah, tergantung jumlah Daftar Pemilih Tetap.
Untuk Jakarta misalnya, dengan DPT antara 6 juta – 12 juta, maka syarat pencalonan adalah partai politik
harus mendapatkan suara sah paling sedikit 7,5% di Daerah Khusus Jakarta.
4. Dengan syarat baru tersebut, menjadi pertanyaan apakah PDI Perjuangan yang bisa mengusung calon sendirian, akan mengusulkan Anies Baswedan? Dinamika beberapa hari ke depan tentu akan sangat menentukan dan menarik diperhatikan.
5. Yang juga akan terdampak Putusan 60 adalah strategi melawan ” kotak kosong” yang ada di beberapa wilayah, kemungkinan akan berubah dengan adanya syarat baru berdasarkan putusan MK tersebut.
Dengan dua putusan MK tersebut Putusan 60 soal syarat ambang batas, dan Putusan 70 soal syarat umur, maka peta pertarungan Pilkada tentu akan berubah dan semakin dinamis serta semakin hangat.
Beberapa hari menjelang pendaftaran kepala daerah ke KPU, akan banyak drama dan politicking yang seyogyanya tidak makin menghilangkan esensi pemilu yang semestinya jujur, adil, dan demokratis.
Atas putusan MK yang demikian, sebaiknya semua elemen negara Presiden, Parlemen (DPR dan
DPD), KPU, MA, Partai Politik, dan semua elemen kepemiluan, sebaiknya menghormati putusan yang demikian. Pemaknaan di luar Putusan MK yang sudah jelas sebaiknya dilaksanakan dan tidak
lagi dimaknai tergantungan kepentingan partisan atau politik pememangan sesaat, yang
bertentangan dengan kepentingan pemilu dan dan negara hukum Indonesia.(*)