Budaya begitu kontras dengan identitas dari sebuah daerah yang menunjukan ciri dan keistimewaan dari golongan tersebut, tak terkecuali suku mandar. Suku yang mayoritas mendiami daerah di Provinsi Sulawesi Barat dengan berbagai ragam kebudayaan. Salah satunya adalah pertunjukan teater tradisional koa-koayang atau warga menyebutnya pakkoa-koayang yang dipadukan dengan tabuhan rebana. Ditiap pertunjukan ramai dipadati penonton karena sangat lucu serta menghibur. Pertunjukan ini mudah dijumpai ditiap acara pernikahan atau khatam alquran, khususnya di tanah mandar Kabupaten Polewali Mandar (Polman).
Laporan: Dandi
(Mahasiswa Sendratasik Fakultas Seni dan Desain UNM
Teater tradisional koa-koayang terinspirasi dari hewan sejenis burung bernama koa, sehingga bagian kostum penarinya pada bagian atas menyerupai burung dengan paruh yang panjang. Seperti yang kerap ditampilkan Grup Rebana Siamasei Lamase di Dusun Lamase, Desa Renggeang, Kecamatan Limboro, Kabupaten Polewali Mandar. Salah satu pemain koa-koayang menceritakan, permulaan adanya kesenian koa-koayang bersamaan turunnya perintah salat dari langit ke tujuh.
Kisah dari pertunjukan itu menceritakan bagaimana burung koa yang terbangnya sangat tinggi diatas langit, dan baru bisa terlihat pada saat siang hari ketika hendak mencari makanan di laut. Nah, ketika pada saat burung tersebut sedang makan ikan dilaut, tiba-tiba seseorang pemburu ingin menembaknya.
Ada beberapa unsur penting dari pertunjukan teater tradisional koa-koayang yang tidak bisa dihilangkan yaitu pertunjukan tidak memakai naskah. Pasalnya, sumber cerita dari sastra lisan dimana sumbernya oleh masyarakat mandar disebut dengan istilah ‘Kalindaqdaq’. Kalindaqdag sendiri merupakan cara penyampaian dialog yang ada di dalam sebuah penyajian cerita yang membingkai rangkaian peristiwa, dimainkan dari awal hingga akhir pementasan.
Untuk tempat pertunjukan koa-koayang menyesuaikan kondisi pada saat pergelaran. Waktu pertunjukan pun menyesuaikan, dapat sebentar maupun lama dari siang hari hingga malam hari masih bias dipentaskan. Jumlah pemain inti pertunjukan berjumlah 2 hingga 4 orang, baik sebagai koayang, pemburu, nelayan serta diiringan 10 hingga 13 orang pengiring musik rebana atau parrawana.
Dialog dan bahasa yang disajikan khas bahasa mandar. Tata busana tokoh koayang menyerupai burung warna kuning hitam dengan menutup tubuh dan kepala, sayap warna kuning dan paruh panjang. Tokoh pemburu dan nelayan berkostum sederhana dengan memakai baju biasa berwarna putih, celana panjang, sarung yang diselempang dan topi hitam. Sedangkan parrawana mengenakan busana keseharian , kemeja dan kaos, sarung dengan mengenakan peci hitam yang diharuskan seragam.(*)