Vaksin Covid-19, Antara Harapan dan Realita

Hingga  artikel ini ditulis, lebih dari 96 juta orang terkonfirmasi positif, dan lebih dari 2,06 juta orang di seluruh dunia  telah tewas karena COVID-19. Jumlah itu akan terus bertambah, karena setiap hari tercatat puluhan ribu kasus  baru, sekitar 13.500 diantaranya korban meninggal. Virus korona baru yang telah bermutasi, dilaporkan menyebabkan penularan menjadi jauh lebih mudah dan cepat  sehingga angka kasus terinfeksi diprediksi akan melesat naik, meskipun banyak ahli menduga bahwa mutasi itu  tak akan membuatnya menjadi lebih mematikan.

Oleh : Bambang Budiono
(Dokter Spesialis Jantung dan
Pemerhati Kesehatan)

Bacaan Lainnya

COVID-19 telah membuat dunia porak poranda, tak hanya masalah korban nyawa dan kecacadan yang  ditimbulkan, namun juga timbulnya ancaman resesi berkepanjangan. Semua orang kini fokus dan amat berharap  agar vaksin COVID-19 bisa menjadi juru selamat, dan akan mengakhiri pandemi. Harapan yang boleh dikatakan  terlalu berlebihan.

Platform Vaksin COVID-19. Lebih dari 240 jenis kandidat vaksin dengan berbagai platform telah diteliti, ada yang masih di tahap penelitian  laboratorium dan binatang coba, ada juga yang telah mencapai uji klinis tahap 1, tahap 2 dan, tahap 3, bahkan 5
kandidat diantaranya telah memperoleh rekomendasi untuk penggunaan luas di masyarakat berdasar ijin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan di Negara masing masing berdasar ‘emergency used authority’.

Kenapa  demikian banyak uji klinis dengan berbagai platform ?. Karena kita tak tahu vaksin yang mana akan berhasil memperlihatkan efikasi dan efektifitas hingga bisa memberikan efek perlindungan jika dilakukan penggunaan  massal. Pada umumnya dari ratusan kandidat vaksin, hanya 7% saja yang bisa mencapai uji klinis, dan sekitar 20%  diantaranya bisa bertahan hingga penggunaan secara massal di masyarakat. Ada beragam jenis platform, pada  kesempatan ini kita hanya membahas 2 platform vaksin, yaitu virus yang dimatikan dan vaksin messenger RNA
yang rencananya juga akan didatangkan ke Indonesia.

Sinovac yang telah mulai digunakan sejak 13 Januari 2021, diawali dengan vaksinasi pertama oleh Presiden Joko  Widodo, kini telah diberikan kepada ratusan ribu tenaga kesehatan di seluruh pelosok tanah air. Vaksin Sinovac  menggunakan platform virus yang di’inaktif’kan atau dimatikan, merupakan metoda pembuatan vaksin tertua di  dunia. Penggunaan virus utuh merupakan cara paling mudah untuk memperkenalkanya sebagai antigen kepada sistem  kekebalan tubuh.

Vaksin Pfizer dan Moderna, menggunakan platform messenger RNA. Tehnologi rekayasa genetika telah mampu  untuk memerintahkan RNA membuat cetak biru untuk menyusun protein khusus yang menyerupai ‘spike protein’  yaitu suatu bagian di permukaan virus korona yang merupakan tempat untuk menempel di reseptor Angiotensin-2  (AT2). Reseptor AT2 adalah pintu masuk virus korona baru ke dalam sel untuk membelah diri/ replikasi. Vaksin mRNA akan masuk kedalam sel untuk memerintahkan sel memproduksi spike protein, dan akhirnya akan  muncul kepermukaan sel sehingga sel akan menyerupai virus korona yang akan dikenali oleh sistem kekebalan  tubuh, yaitu limfosit T yangmemiliki pasukan disebut CD-4 atau T helper.

Jika CD-4telah berhasil mengenali virus korona dari spike protein yang dibentuk sel, selanjutnya ia akan memerintahkan limfosit B untuk memproduksi antibodi yang kelak diperlukan untuk memerangi virus korona jika masuk ke dalam tubuh. Vaksin dengan berbagai platform, bertujuan memperkenalkan antigen untuk melatih sistem kekebalan agar mengenali musuh yang melakukan invasi ke dalam tubuhsekaligus melumpuhkanya. Limfosit T, dengan pasukan  yang disebut CD-8 Limfosit T juga akan merekam identitas virus korona baru, sehingga diharapkan dapat memiliki  kekebalan jangka panjang.

Variasi Efikasi Uji klinis di Brasil, Turki, dan Indonesia melaporkan efikasi atau kemanjuran Sinovac untuk mencegah terinfeksi  COVID-19 berkisar 50,4 % hingga 76% karena perbedaan karakteristik populasi penelitian.
Di Turki misalnya,  melibatkan populasi risiko tinggi yaitu tenaga kesehatan, di Brazil melibatkan usia lanjut, sedangkan di Indonesia melibatkan masyarakat umum.

Pada prinsipnya, di ketiga Negara tersebut, telah memenuhi syarat untuk penggunaan EUA karena telah  memenuhi syarat efikasi > 50% yang ditentukan oleh WHO. Uji klinis vaksin Pfizer dan Moderna memperlihatkan  tingkat kemanjuran sekitar 95%. Angka angka tersebut masih akan berubah sejalan dengan pembaruan data dari  uji klinis yang terus berjalan disertai pemantauan jangka panjang.

Mutasi virus dan masa depan vaksin Mutasi virus jenis RNA adalah wajar, alamiah, dan umumnya terjadi relatif cepat. Mutasi SARSCOV-2 ditakutkan  akan membuat vaksin COVID-19 menjadi tidak efektif, seperti halnya vaksin influenza yang setiap tahun mengalami  perubahan komponen antigen dengan menambahkan strain baru.

Namun ketakutan tersebut ditampik oleh para ahli, karena seluruh platform vaksin akan tetap memiliki  kemampuan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali SARSCOV-2 sekalipun telah mengalami  mutasi. Mutasi tak akan pernah mengubah virus secara total. Ada bagian virus korona baru yang tak akan pernah berubah sehingga akan tetap bisa dikenali, yaitu spike protein  yang memiliki fungsi sebagai anak kunci untuk membuka pintu sel lewat reseptor AT2. Jika bagian ini berubah,  maka ibarat melakukan bunuh diri, karena ia tak akan bisa masuk kedalam sel, dan akhirnya mati.

Herd immunity Sejarah membuktikan, jika lebih 70% populasi memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit, maka akan terjadi kekebalan kelompok atau sering dikenal dengan herd immunity. Pertanyaan yang timbul adalah apakah vaksinasi COVID-19 bisa menimbulkan herd immunity ? Nampaknya tak  semudah hitungan matematika, setidaknya karena 3 faktor. Faktor pertama melibatkan sifat intrinsik vaksin dan virus. Sebagai contoh, vaksin Pfizer telah terbukti aman dan  efektif dalam mengurangi penyakit di lebih dari 95 persen peserta uji klinis, apakah vaksin itu akan mencegah  infeksi dan penularan masih belum diketahui.

Kemungkinan besar akan terjadi, tetapi sampai ini terbukti, kita harus terus berhati-hati dalam melindungi diri kita  sendiri dan orang lain dari tertular penyakit, bahkan pasca vaksinasi. Faktor kedua adalah lamanya perlindungan dengan kata lain, berapa lama perlindungan yang diberikan oleh  suatu vaksin akan bertahan. Beberapa penelitian, meskipun tidak semua, menunjukkan bahwa kekebalan alami  terhadap virus Covid-19 tidak berlangsung lama dan amat dipengaruhi derajat infeksinya.

Makin ringan gejala, makin lemah stimulus terhadap sistem kekebalan untuk memproduksi antibodi. Kekebalan  yang dipicu oleh vaksin mungkin dapat membantu untuk merespons lebih baik, tetapi tidak selalu demikian.
Respons kekebalan yang dipicu oleh vaksin influenza, misalnya, berkurang dalam empat hingga enam bulan,  sehingga perlu dilakukan vaksinasi ulang dalam kurun waktu tersebut. Hanya waktu yang akan memberi tahu  apakah perlindungan kita terhadap Covid-19 juga hanya berumur singkat.

Faktor ketiga, adalah faktor demografis yang membuat sulit untuk melakukan distribusi vaksin ke seluruh pelosok  tanah air, sehingga akan memerlukan waktu panjang, dan masih banyak orang yang menolak vaksinasi COVID-19  dengan berbagai alasan yang tak didukung data ilmiah terpercaya.
Bagaimana bisa melakukan imunisasi masif, jika seorang anggota dewan saja secara vulgar menyatakan rela  dipidana denda daripada menerima vaksinasi.

Sesat Pikir

Banyak pihak terlalu besar berharap, vaksin bisa menjadi dewa penolong ditengah kegalauan masyarakat yang  belum melihat titik cerah berhentinya pandemi, sehingga muncul berbagai usul yang sangat bombastis. Misal ;  menggunakan kartu vaksin untuk kartu perjalanan dan bebas ‘rapid test’.

Perlu dipahami, bahwa vaksin COVID-19 tak bisa mencegah tertular virus korona, tugas utamanya adalah  mencegah jatuh ke kondisi berat jika terinfeksi.
Bahkan ada dugaan kuat orang yang telah mendapatkan vaksinasi berpotensi sebagai penular, karena ia memiliki  imunitas bagus sehingga tak jatuh sakit, namun berpotensi menyebarkan virus seperti halnya karier. Jadi membuat  program bebas rapid test bagi pemegang kartu vaksinasi COVID-19, jelas sesat pikir.

Utamakan Prokes. COVID-19 masih berusia sekitar setahun, sehingga masih banyak hal tidak diketahui. Ketika  masih banyak pertanyaan dibanding jawaban, maka yang terbaik adalah tetap melakukan protokol kesehatan  dengan menggunakan masker, menjaga jarak dan sering mencuci tangan sebelum menyentuh area wajah. Sebab  hal ini telah terbukti efektifitasnya untuk memutus rantai penularan. Vaksin COVID-19 hanyalah upaya tambahan,
bukan pengganti protokol kesehatan sampai pandemi dinyatakan usai.Melakukan Prokes jauh lebih penting  dibanding harapan berlebihan terhadap vaksin. (*)

 

Pos terkait