PAREPARE, KILASSULAWESI– Integritas, profesionalisme dan kapabilitas serta perwujudan APIP yang independen menuai sorotan tajam di Kota Parepare. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam orientasi pengawasan dinilai ‘mati suri’ dan tak sesuai dalam peran APIP sesuai Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.
Kedua UU itu menegaskan, terdapat tiga atribusi pemberian kewenangan APIP di daerah. Selain sebagai pembantu Kepala Daerah dalam membina dan mengawasi perangkat daerah, memiliki peran strategis dalam penanganan pengaduan masyarakat, juga pengawasan dalam larangan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Faktanya, dalam hal pengawasan itu tidak terlaksana sebagai mana mestinya.
Hal itu ditegaskan, Ketua Gempar Kota Parepare, H Makmur M Raona didampingi Sofyan Muhammad menyikapi adanya pembiaran dalam pelaksanaan proyek Masjid Terapung BJ Habibie. Buktinya, kata Sofyan Muhammad, proyek tahun 2021 dengan dua kontrak dengan kontraktor yang sama yang mencapai Rp 43 miliar.
Sangat terindikasi konsultan perencana salah dalam mengestimasi rancangan anggaran belanja (RAB), sehingga ada penambahan anggaran dengan terbitnya kontrak untuk penambahan anggaran. ”
Hal ini sangat aneh karena terbit dua kontrak dalam satu proyek,”ujarnya, Senin 18 Juli 2022, di Warkop 588.
Belum lagi, sampai akhir tahun proyek tersebut tidak selesai pekerjaan. “Jatuh tempo proyek mulai bulan Januari tahun 2022. Dan yang membingungkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menilai kontrak dengan anggaran Rp29 miliar untuk tahap pertama selesai. Sedangkan yang dikenakan denda hanya kontrak untuk anggaran tambahan sebesar Rp14 miliar. Aneh bin ajaib,”bebernya.
H Makmur Raona menambahkan, menurut pengakuan PPK denda berjalan sekitar Rp13 juta per hari. “Kalau suatu proyek menggunakan anggaran APBN, maka batas waktu perpanjangan itu 90 hari diatur dalam peraturan menteri keuangan. Sedangkan kalau menggunakan APBD perpanjangan waktu 50 hari diatur dalam peraturan menteri PUPR dan diatur dalam LKPP 12 tahun 2021,”jelas pria yang berlatar belakang pengacara tersebut.
Seharusnya, lanjut Makmur Raona, proyek tersebut paling maksimal berakhir di akhir bulan maret. Tetapi anehnya sampai bulan Juli tahun 2022, pekerjaan proyek tersebut belum selesai. ” Kok ada proyek berjalan tanpa batas waktu, padahal kontrak proyek tersebut adalah kontrak tahun tunggal bukan kontrak tahun jamak,”kuncinya.
Sofyan menegaskan, hal itulah menimbulkan indikasi negatif karena kebijakan yang diberikan ke kontraktor indikasi sangat berlebihan. “Proyek tersebut terindikasi adanya konspirasi negatif antara pihak PUPR dan kontraktor berikut inspektorat (APIP). Kalau denda per harinya Rp 13 juta per hari.
Maka kalau 200 hari saja itu denda sdh menyentuh angka Rp 2,6 miliar dan sangat besar potensi indikasi negatif bisa terjadi,” kata pria dengan ciri khas berambut putih tersebut. ” Konsultan perencana dan konsultan pengawas proyek itu atas mama Mansyur Mantire. PPK atas nama Suhandi dan PA /KPA adalah Kadis PUPR Syansuddi Taha,”tutupnya.(*/tim)