JAKARTA, KILASSULAWESI– Partai Nasional Demokrat (NasDem) sejak mengumumkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan sebagai Calon Presiden (Capres) 2024. Partai besutan Surya Paloh itu menuai berbagai hal, dimana salah satunya penilaian oleh berbagai pihak.
Terkait hal itu, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategi Agung Baskoro berbicara mengenai beda nasib yang dialami oleh Partai Gerindra dan Partai Nasdem usai mendeklarasikan bakal Capres masing-masing. Partai Gerindra diketahui mengusung Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, sementara Nasdem mendeklarasikan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Akan tetapi, lanjut Agung, sejauh ini Nasdem terlihat lebih disudutkan. Mulai dari munculnya isu reshuffle menteri dari Nasdem hingga keluar dari koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal tersebut berbanding terbalik dengan Partai Gerindra yang sejauh ini tidak mendapat ‘serangan’. Agung menjelaskan, fenomena ini terjadi lantaran Nasdem memilih Anies yang merupakan figur yang dianggap berseberangan dengan pemerintahan Jokowi. “Karena suka atau tidak, Ahok yang saat itu menjadi ‘wakil’ pemerintahan Jokowi, kalah (di Pilgub DKI 2017 melawan Anies),” ujarn Agung dikutip dari lama saat Kompas.com, kemarin.
Agung memaparkan, Anies berbeda dengan Prabowo yang ditempatkan Gerindra selalu menjadi ‘menterinya Jokowi’. Selain itu, dia menyebut bahwa Prabowo sudah mendapat restu dari Jokowi. “Artinya, ketika Prabowo maju capres, persoalan antitesis menjadi terbantahkan, karena Prabowo sudah ‘memeroleh’ restu (Jokowi),” tuturnya.
Agung pun menyinggung persinggungan antara Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Jokowi yang belum bertemu karena beda kepentingan. Menurut dia, Surya Paloh punya tanggung jawab moril untuk membesarkan Nasdem sebagai partai teratas yang bisa bersanding dengan PDI-P dan Golkar. “Setelah tugas Surya Paloh selesai menguatkan partai (sistem dan pengkaderan), ia butuh sosok yang bisa menopang coattail effect dalam pilpres nanti,” kata Agung. “Dan Anies menjadi salah satu solusinya. Menimbang Prabowo ada di sisi Gerindra dan Ganjar di pihak PDI-P,” sambungnya.
Agung menganggap Nasdem sebenarnya berani dengan mendeklarasikan Anies Baswedan. Dia melihat apa yang Nasdem lakukan ini sebagai suatu terobosan politik. Akan tetapi, terobosan politik yang Nasdem lakukan ini harus dibayar mahal. Nasdem justru diserang. “Harus dibayar mahal dengan serangan bertubi-tubi dari mitra koalisi saat ini yang susah membedakan antara periode kedua pemerintahan Jokowi yang akan habis 20 Oktober 2024 dengan pemilihan Anies sebagai capres untuk 2024-2029,” ucap Agung.
Ganggu PDI Perjuangan
Sementara itu, Agung berpendapat strategi Nasdem dalam mencapreskan Anies ini mengubah konstelasi politik nasional. Dia melihat, dengan dideklarasikannya Anies, Ganjar Pranowo menjadi lebih berani. Sehingga koalisi lain pun mesti bergegas memutuskan calonnya. “Bagi PDI-P, ini mengganggu misi mencapreskan Puan Maharani. Karena akhirnya partai berlambang banteng mesti realistis, menimbang lawan yang dihadapi adalah Anies dan Prabowo,” katanya.
Maka dari itu, Agung menilai wajar apabila PDI-P menjadi partai yang paling banyak melancarkan serangan ke Nasdem. Dia menyebut PDI-P menyerang Nasdem, mulai dari harus dikeluarkan dari koalisi pemerintah, hingga menteri-menterinya segera kena reshuffle. “Dan ini diperkuat, dengan adanya rencana pemanggilan Ganjar oleh DPP dalam waktu dekat untuk mengklarifikasi kesiapannya maju capres menimbang domain tersebut menjadi hak preogatif ketua umum,” tutup Agung.(*)