PAREPARE, KILASSULAWESI– Ketua Badan Pengurus Cabang Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPC HIPMI) Kota Parepare, Syamsul Rijal Madani kembali meminta kepada pemerintah kota agar memiliki kepekaan, dalam memberikan dukungan penuh bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) supaya bisa berkembang.
Syamsul Rijal tak menampik jika pemerintah kota sebelumnya tak memiliki itikad baik dalam mendukung dan membantu dari berbagai segi, baik itu permodalan maupun akses pasar yang luas. Namun, kata Syamsul, saat ini itikad itu telah sejalan dengan kepekaan dari pemerintah.
” Saya kasi contoh wisata kuliner di pelataran Masjid Terapung yang menghabiskan anggaran Rp 7,5 miliar, dengan lokasi yang berada tepat didepannya. Mana lebih ramai. Diluar dari lokasi itu yang asli UMKM, sedangkan yang menggunakan fasilitas pemerintah, coba cari tahu. Makanya perlu di efaluasi pemerintah saat ini,”ujarnya tanpa memberikan rincian secara detail.
Senada disampaikan salah satu pengunjung Warkop 588, Ridwan yang mengaku perlunya keberpihakan pada pelaku UMKM. Ia pun mencontohkan usaha Warkop 588 yang dinilainya telah menjadi ikon Kota Parepare.
“Ini sudah ketiga kalinya berpindah, tapi tetap ramai didatangi penikmat kopi. Tapi sayang, tempat yang difasilitasi pemerintah kurang memadai. Tidak ada toilet, lokasinya sempit. Pada hal lokasi Pare Beach ini mulai menggeliat setelah sekian tahun bangunan disini mati suri,” ujar Ridwan.
Kenapa mati suri, lanjut Ridwan, karena selama ini yang mengusai tenan bukan pelaku UMKM. Akan tetapi pemilik modal yang dengan seenaknya menyewa, lalu mempersewakan. ” Kondisi yang terjadi selama ini telah menjadi rahasia umum, dan perlu diubah. Olehnya itu perlu penegasan serta kesadaran dari pemerintah, khususnya organisasi perangkat daerah terkait,” tegasnya.
Dari data yang dihimpun dari berbagai sumber. Berikut beberapa permasalahan UMKM yang umum terjadi:
1. Modal
Permasalahan UMKM yang paling sering ditemui adalah modal yang terbatas. Para pelaku UMKM mungkin saja memiliki banyak ide bisnis untuk mengembangkan usahanya, namun harus terhenti karena tidak adanya modal tambahan.
Jika ditelusuri ke belakang, banyak pelaku UMKM yang kesulitan untuk mendapatkan modal tambahan dari lembaga keuangan dikarenakan banyaknya persyaratan yang belum terpenuhi.
2. Urusan Perizinan
Banyak UMKM yang belum memiliki badan hukum yang jelas. Tidak adanya izin usaha resmi mendatangkan efek domino bagi pelaku UMKM karena akan menghambat laju usaha mereka sendiri, salah satunya saat ingin mengajukan modal.
Sehingga sulit bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan usaha mereka menjadi lebih besar lagi. Tak mengantongi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang diterbitkan berdasarkan domisili usaha. Keberadaan SIUP penting dimiliki oleh pelaku UMKM agar usaha yang dijalankan memiliki bukti yang sah dari pemerintah.
Perihal SIUP diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 46/2009 tentang Perubahan Atas Permendag No. 36/2007 mengenai Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. SIUP dibagi menjadi 4 jenis berdasarkan skala usaha yang dijalankan, yaitu Mikro, Kecil, Menegah dan Besar.
3. Rendahnya Kesadaran untuk Membayar Pajak
Regulasi yang kerap diabaikan oleh pelaku UMKM adalah soal pembayaran pajak. Dari sekitar 60 juta pelaku UMKM di Indonesia, hanya 2,5% saja atau sekitar 1,5 juta pelaku UMKM yang melaporkan pajaknya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pelaku UMKM paham akan cara menghitung pajak yang menjadi kewajiban mereka.
Efek terburuk yang bisa menimpa pelaku UMKM adalah usaha mereka bisa mengalami gulung tikar karena modal yang ada habis dipakai untuk membayar sanksi pajak yang telat dibayarkan.
Pemerintah pun menurunkan tarif PPh Final atau yang sering disebut sebagai pajak UMKM dari 1% menjadi 0,5% yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
4. Kurangnya Inovasi
Alasan terakhir inilah yang membuat banyak pelaku UMKM jalan di tempat dalam mengembangkan usahanya karena minimnya inovasi. Akhirnya banyak usaha yang hanya bertahan selama 1-2 tahun, kemudian bangkrut karena produk atau jasa yang ditawarkan tidak kuat atau kalah bersaing.
Banyak pelaku UMKM yang hanya menjalankan bisnis berdasarkan ikut-ikutan tanpa melihat potensi diri yang dimilikinya. Tidak mengherankan jika produk UMKM lokal yang berhasil menembus pasar internasional terbilang masih sedikit. Jika dibandingkan dengan produk sejenis dari negara luar, produk UMKM Indonesia kalah saing baik dari segi kualitas dan harga. Produk yang lahir dari latah atau ikut-ikutan tren ini tidak muncul dari konsep yang matang dan memiliki kemiripan satu sama lain dengan produk sejenis.
5. Gagap Teknologi
Kondisi gagap teknologi ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya kondisi ekonomi, kondisi lingkungan, lokasi wilayah, dan lain sebagainya. Perkembangan teknologi yang terjadi sekarang ini melahirkan geliat ekonomi digital yang justru membawa banyak manfaat bagi pelaku UMKM, tidak hanya dalam memasarkan produknya tetapi juga memudahkan proses produktivitas para pelaku UMKM.
Kehadiran saluran marketplace dan media sosial membuka peluang bagi pelaku UMKM dalam mengenalkan produk mereka ke ranah yang lebih luas. Selain itu, produktivitas pegiat UMKM semakin lebih mudah dan efisien berkat adanya perkembangan teknologi, mulai dari melakukan pembukuan secara digital, membayar pajak melalui sistem aplikasi, dan lain-lain.
Maka, ada baiknya pelaku UMKM di usia muda turut mengajarkan atau memberikan penyuluhan terkait teknologi terkini terhadap pelaku UMKM di usia senior. Mereka yang lebih tua juga diharapkan tidak segan untuk bertanya mengenai update terkini di dunia bisnis.(*)