Era pandemi COVID-19 telah membuat, D-dimer, menjadi amat terkenal dan menjadi salah satu menu utama pemeriksaan laboratorium, terutama untuk mendeteksi adanya proses koagulasi, namun ada kecenderungan pemahaman tentang makna D-dimer menjadi salah kaprah sehingga berpotensi meningkatkan potensi komplikasi karena digunakan secara serampangan untuk memberikan pengobatan
Oleh: Bambang Budiono (Pemerhati Masalah Kesehatan)
Dalam sebulan terakhir beberapa sejawat melaporkan adanya 3 kasus pasien COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri, mengalami komplikasi perdarahan berupa perdarahan bawah kulit masif, perdarahan saluran cerna, dan salah satunya mengalami perdarahan otak yang berakhir kematian, akibat mengkonsumsi antikoagulan (obat pengencer darah) ketika memperoleh hasil peningkatan D-dimer dari pemeriksaan laboratorium.
Koagulasi dalam keadaan normal adalah proses fisiologis di mana tubuh membentuk gumpalan sebagai respons terhadap pendarahan. Ini melibatkan trombosit (fragmen sel atau keping darah yang beredar dalam darah) dan berbagai faktor pembekuan darah yang semuanya bekerja bersama untuk membentuk gumpalan dan kemudian melarutkannya ketika tidak lagi dibutuhkan. Jika terjadi keadaan ‘hiperkoagulabilitas”, orang awam sering menyebut darah kental, maka darah akan cenderung mudah menggumpal. Bekuan darah (trombus) yang terjadi di arteri atau vena dapat mengancam jiwa, karena dapat memblokir aliran darah ke organ-organ penting seperti otak, jantung, dan paru-paru.
Ada beberapa kondisi medis yang dapat menyebabkan pasien mengalami peningkatan D-dimer tanpa adanya proses pembentukan bekuan darah, misalnya pada kehamilan, keganasan, merokok, trauma, infeksi, atau sepsis. Selain itu, pasien lanjut usia, pasien imobilisasi, pasien dengan gangguan autoimun, atau mereka yang baru saja menjalani operasi mungkin memiliki peningkatan D-dimer. Sebagai catatan, ada penelitian yang muncul untuk menyarankan penggunaan nilai batas yang disesuaikan dengan usia untuk D-dimer, karena D-dimer dapat meningkat seiring bertambahnya usia, bahkan tanpa adanya penyakit sekalipun.
Seperti diketahui COVID-19 merupakan penyakit infeksi yang memiliki berbagai manifestasi klinis, salah satunya adalah masalah hiperkoagulabilitas, salah satunya terdeteksi dengan pemeriksaan D-dimer, yang merupakan petunjuk adanya peningkatan pembentukan bekuan darah. Berbagai penelitian memperlihatkan peningkatan D-dimer 3-4 kali lipat dari batas nilai normal pada awal diagnosis COVID-19 pada pasien gejala sedang dan berat yang dirawat di rumah sakit, dapat meramalkan kondisi buruk pasien jika tidak diberikan pengobatan optimal, termasuk pemberian antikoagulan (pengencer darah). Tingginya peningkatan D-dimer pada pasien COVID-19 terkait erat dengan derajat keparahan, namun mekanismenya belum diketahui secara jelas.
Beberapa penelitian dilakukan di beberapa rumah sakit di China, antara 31 Januari dan 12 Februari 2020, dari total 274 pasien COVID-19 dari 113 pasien yang tidak bertahan hidup, dilaporkan bahwa kadar D-dimer mereka 7,5 kali lebih tinggi dibanding dengan161 pasien yang bertahan hidup. Hasil serupa dilaporkan dalam penelitian lain yang juga dilakukan di China kadar D-dimer dari 134 pasien COVID-19 yang meninggal rata-rata 5 kali lebih tinggi dibanding yang bertahan hidup.
Sementara itu, dalam penelitian yang dilakukan di Tongji Hospital, China, dilaporkan hasil klinis dan laboratorium dari 57 pasien dengan pneumonia COVID-19 yang dikonfirmasi dan 46 pasien dengan pneumonia bakteri yang didapat dari komunitas. Hasilnya ditemukan bahwa, pada saat masuk, baik pada pasien COVID-19 maupun pasien Pneumonia bakteri, kadar D-dimer meningkat secara signifikan, namun kadar D-dimer lebih tinggi pada pasien COVID-19. Selain itu, ditemukan bahwa pada pasien COVID-19, D-dimer terkait dengan penanda peradangan hsCRP. Terdapat hubungan yang lemah antara skor emboli vena dalam dan kadar D-dimer, melemahkan peran D-dimer dalam memprediksi pembentukan gumpalan darah dalam tubuh. Setelah perawatan, kadar D-dimer pada umumnya menurun selaras dengan penurunan kadar hsCRP pada pasien dengan prognosis klinis yang baik, tetapi masih ada beberapa pasien dengan peningkatan kadar D-dimer yang tidak normal setelah terapi. Kesimpulannya, peningkatan kadar D-dimer awal dikaitkan dengan peradangan tetapi tidak dengan risiko pembentukan bekuan darah pada pasien COVID-19, menunjukkan bahwa tidak masuk akal untuk menilai apakah pemberian obat antikoagulan diperlukan hanya berdasarkan kadar D-dimer. Jika perubahan abnormal D-dimer disertai juga peningkatan faktor inflamasi bisa menjadi petunjuk bahwa terapi antikoagulan mungkin diperlukan.
Meskipun peningkatan diatas 3-4 kali batas normal, sering digunakan untuk menentukan kapan pemberian antikoagulan mulai diberikan, prinsipnya “jangan mengobati angka”, hasil laboratorium peningkatan D-dimer tanpa disertai adanya kelainan laboratorium lain dan tidak ditunjang dengan kondisi klinis pasien tidak selayaknya digunakan untuk mengambil keputusan pemberian obat antikoagulan/pengencer darah, karena komplikasi yang fatal bisa terjadi akibat perdarahan jika tidak digunakan secara tepat indikasi dan tepat dosis. (*/ade)