Sayyang Pattuduq dari Tanah Mandar untuk Dunia

Aktraksi sayyang patudduq di tanah mandar

Festival Sayyang Pattudduq atau kuda menari dibuka Bupati Polman, Andi
Ibrahim Masdar(AIM) di Stadion S Mengga, Kelurahan Madatte, Kecamatan Polewali, Senin 23 Mei 2022. Saat membuka kegiatan, harapan besar disampaikan orang nomor satu di Polman itu. Ia menyebut Festival Sayyang Pattudduq akan memberikan dampak luas untuk anak bangsa.

Bacaan Lainnya

Bukan saja Polewali Mandar. Sebab, katanya, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan kebudayaan telah menetapkan Sayyang Pattudduq sebagai warisan budaya. Berarti tradisi Sayyang Pattudduq bukan hanya menjadi milik masyarakat mandar tapi juga masyarakat Indonesia.

Bahkan, tambahnya, Festival yang dilaksanakan Senin 23 Mei diharapkan dicatat UNESCO sebagai warisan ke-13 Indonesia. Sehingga menjadi warisan dunia dari tanah Mandar. “Makanya, atas nama Pemerintah Kabupaten Polman menyambut baik dan memberikan apresiasi kepada jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Polman yang telah bekerja keras. Sehingga rangkaian festival dapat terlaksana.

Semoga kegiatan ini mendapatkan keberkahan, limpahan karunia, kebahagiaan dan kesejahteraan,” ungkapnya. AIM mengatakan terselenggaranya kegiatan itu menjadi bukti kuatnya komitmen Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar dalam memajukan kebudayaan. Sesuai amanat undang-undang nomor 5 tahun 2017 tentang kemajuan kebudayaan.

Dijelaskan, Sayyang Pattudduq menjadi bagian dari masyarakat Mandar, pada hakikatnya merupakan apresiasi seorang anak yang telah mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an. Apresiasi itu dalam bentuk menunggang kuda yang telah terlatih, diiringi bunyi rebana dan untaian kalinda’da atau puisi Mandar. Berisi pujian kepada gadis
penunggang (pessawe).

Bupati menambahkan, tradisi ini dilakukan berdasarkan kepercayaan masyarakat Mandar dari turun temurun. “Jika ditelusuri, Sayyang Pattudduq keunikan bukan hanya terletak pada keunikan kuda, tapi seluruh rangkaian atau prosesnya. Sebagai sarana gotong royong karena melibatkan warga
masyarakat dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan bersama,” terang Andi Ibrahim Masdar.

“Rangkaian tradisi Sayyang Pattudduq bukan hanya dilaksanakan untuk prosesi penamatan Al-Qur’an saja, tapi juga digelar pada momen peringatan Maulid Nabi Muhammad,” tandasnya.

Dalam kegiatan itu sebanyak 175 kuda, dan penunggang dua orang satu kuda yang diiringi 8 pemain rebana di 1 kuda. Festival dihadiri Itje Khodijah (Ketua Harian Komite Nasional Indonesia Untuk (KNIU) UNESCO), Muhlis Paeni (Ketua Dewan Pakar Memori of The World), Pudentia (Ketua Sosiasi Tradisi Lisan Indonesia,) Jabatin Bangun (Sekretaris Tradisi Lisan Indonesia), Andi Samsul Rijal (Kepala Balai Pelestarian Nilai Nudaya Makassar), dan undangan lainnya.

Sejarah

Sejarah dimulainya tradisi ini tidak diketahui secara pasti, siapa yang menciptakan atau siapa yang memulai dan kapan dimulainya. Mengutip dari laman Kemendikbud, ada sumber yang mengatakan bahwa Saiyyang Pattudduq sudah ada sejak abad ke-14, pada masa pemerintahan raja pertama Kerajaan Balanipa, Imanyambungi yang bergelar Todilaling. Disebutkan bahwa pada masa
itu, kuda merupakan satu-satunya alat transportasi dan masyarakat berinisiatif untuk sekaligus menjadikannya sarana hiburan sehingga lahirlah Sayyang Pattudduq.

Versi lain mengatakan bahwa Sayyang Pattudduq baru mulai dikembangkan saat Islam menjadi agama resmi di beberapa kerajaan di tanah Mandar, yaitu pada abad ke-16. Dikisahkan bahwa sejak dahulu berkuda sudah menjadi tradisi, dan kuda identik dengan kekerasan, kekuasaan, kekuatan dan kemewahan. Setelah Islam masuk, kuda kemudian dididik, dilatih, sekaligus menjadi alat pendidikan.

Bagi putra bangsawan keterampilan berkuda menjadi sebuah keharusan. Demikian halnya para santri, kemampuan untuk membuat kuda patuh kepadanya menjadi salah satu tolak ukur keberhasilannya sebagai santri yang telah menamatkan pengajian. Karenanya para santri melatih dan mendidik kuda untuk bergerak mengikuti irama rebana ataupun senandung shalawatan. Dari sini Sayyang Pattudduq mulai berkembang di lingkungan istana dan disakralkan, dan hanya dimainkan pada upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Dalam perkembangannya, Sayyang Pattudduq menjadi tradisi untuk merayakan penamatan Al Qur’an. Seorang anak yang telah khatam bacaan Qur’an akan diupacarakan dengan menunggangi Sayyang Pattudduq dan diarak keliling kampung untuk disaksikan oleh masyarakat. Sayyang Pattudduq pun menjadi motivasi bagi anak-anak untuk segera menamatkan Al Qur’an.
Pada masa sekarang, fungsi Sayyang Pattudduq mengalami pergeseran mengikuti zaman. Sayyang Pattudduq tidak hanya digelar pada penamatan Quran, namun juga digelar untuk penyambutan tamu kehormatan dan untuk kepentingan atraksi wisata.(*)

Pos terkait