Evaluasi dan Prediksi Hukum 2022-2023 DUITokrasi Membunuh DEMOkrasi

Denny Indrayana

Dengan berakhirnya tahun 2022 dan hadirnya 2023, kita perlu melakukan evaluasi, sekaligus prediksi bagaimana perjalanan hukum di tanah air. Evaluasi adalah bagian dari upaya mengkritisi dan ikhtiar perbaikan, sedangkan prediksi adalah langkah antisipasi dan mencari solusi atas masalah hukum yang akan timbul di tahun-tahun mendatang.

Catatan: Denny Indrayana
(Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner INTEGRITY Law firm
Registered Lawyer di Indonesia dan Australia)

Public Justice Killing

Tahun 2022 terutama diwarnai dengan rangkaian drama Ferdy Sambo yang memenuhi ruang publik dan pemberitaan. Pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat adalah “Skenario Sambo” yang menjadi serial sinetron, bagaimana nyawa dihilangkan, dan hukum coba dipermainkan. Bagaimana ujungnya? Masih akan terus kita tonton dan sibuk perdebatkan. Tetapi apakah serial Sambo itu akan merubah wajah penegakan hukum kita menjadi lebih adil?

Tegas saya katakan: Tidak! Pembunuhan Brigadir Yosua adalah potret bagaimana hukum seringkali direkayasa untuk melindungi kaum elit berkuasa, berhadapan dengan kawula alit rakyat jelata. Sambo yang punya kuasa, sempat merangkai cerita dan membelokkan fakta. Bagaimana kejadian sebenarnya, harusnya terkuak di depan mata hakim, jika hukum bekerja sesuai idealita.

Namun, Sambo dan kasusnya adalah satu cerita, tentang bagaimana satu nyawa merenggang derita. Yang lebih merisaukan sebenarnya adalah, banyak cerita lainnya, yang tidak viral dan menjadi berita. No viral no justice. Hari-hari Indonesia sejujurnya penuh kisah nestapa bagaimana banyak keadilan publik di bunuh, tanpa ada hukum yang ditegakkan. Pembunuhan keadilan publik (public justice killing) itu kerap berlangsung melalui berbagai praktik mafia hukum, yang berkelindan dengan mafia politik, yang terus menggerogoti sistem hukum kita.

Sambo-sambo dalam pembunuhan keadilan publik tersebut, adalah para elit penguasa yang berkolusi dengan kekuatan oligarki pengusaha, dan korbannya adalah rakyat jelata yang kehilangan nyawa, ataupun ruang berusaha untuk mempertahankan hak hidupnya. Saya punya banyak cerita duka. Ini hanya dua diantaranya.

Di Kalimantan Selatan di penghujung 2021, seorang advokat Jurkani ditebas sekujur tubuhnya, dan akhirnya merenggang nyawa. Dia menjadi korban praktik tambang ilegal (illegal mining) batu bara yang mewabah di seantero Banua (Kalsel), seiring dengan tingginya harga komuditas itu di dunia. Yang menjadi terpidana adalah pelaku lapangannya, sedangkan aktor intelektual, tidak penah berhasil diminta pertanggungjawaban di hadapan sidang terbuka. Modusnya jamak alias biasa. Bersembunyi dibalik “Skenario Sambo”, dengan menjadi oligarki yang terus tidak tersentuh hukum (the untouchable).

Kekuatan dan tentakel bisnisnya makin menggurita, merambah kemana-mana. Beriringan dengan jalan ditempatnya dugaan kasus korupsi suap pajak yang ditangani KPK, tentu mudah diduga mengapa. Masih soal kutukan sumber daya alam kita. Datanglah ke Sulawesi Tenggara. Kami mengadvokasi beberapa kasus hukum penambangan nikel di sana. Masyarat Kabupaten Konawe Kepulauan, berjuang agar pulau kecil Wawonii tidak ditambang, karena sudah pasti akan merusak lingkungan. Namun, korporasi tak lelah berusaha.

Perda RTRW diubah, sehingga izin tambang, meskipun tanpa kajian lingkungan yang seharusnya, berhasil diperoleh untuk nikel di bawa jauh ke China. Itu hanya dua cerita duka, masih banyak kisah nestapa lainnya. Negara gagal menguasai sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagai amanat Pasal 33 UUD 1945. Faktanya, Negara justru, melalui oknum pejabatnya, menjadi hamba sahaya kepentingan bisnis oligarki dengan imbal balik bantuan atas biaya politiknya.

Amanah penguasa negara untuk menjaga kepentingan public, berubah arah menjadi beking kepentingan private. Lebih cilaka lagi kalau sang penguasa juga secara terbuka atau sembunyi-sembunyi ikut berbisnis. Apakah melalui kerabat, ataupun grup usahanya. Maka benturan kepentingan bisnis, yang menjadi embrio korupsi menjamur dimana-mana. Aparat penegak hukum, tidak berdaya, karena seringkali ikut menikmati setoran $2 dollar per ton batu bara. Atau ikut punya izin usaha, meskipun melalui tangan pihak ketiga, sering disebut modus “Ali-Baba”. Ali yang dimunculkan namanya ada dalam akta usaha, padahal Baba pemilik keuntungan sesungguhnya (beneficial ownership).

Jika penguasa negara sudah ikut berniaga, maka kepentingan umum (public) akan dikalahkan oleh kepentingan pribadi (private). Pejabat negara yang seharusnya berhitung besar-kecilnya pengabdian di hadapan rakyatnya, akan berubah menghitung untung-rugi dollar Amerika, Singapura, Yen Cina, di hadapan cukong bisnisnya. Maka dikhianatilah sumpah jabatan, dan akibatnya pembunuhan keadilan publik (public justice killing) menjadi merajalela. Sambo-sambo sang raja rekayasa menjadikan negara hukum hanya wacana tanpa realita.

Hukum Dibawah Bayang-Bayang Pemilu 2024

Evaluasi dan prediksi hukum makin rumit dikaitkan dengan agenda politik Pemilu 2024. Meskipun sibuk dibantah di panggung depan, saya berkeliling ke para tokoh parpol, dan mendapatkan konfirmasi, bahwa panggung belakang politik kita penuh dengan intrik dan rekayasa politik-hukum saling sandera. Hukum akhirnya hanya dijadikan instrumen, untuk mengancam, saling tawar posisi, dan penentuan arah koalisi. Kasus hukum bisa timbul dan tenggelam, bukan karena alat bukti, tapi tergantung strategi merangkul kawan, dan memukul lawan.

Partai oposisi, akan diupayakan terus melemah. Partai Demokrat coba dikuasai, meskipun berhasil digagalkan, paling tidak sementara. Partai Keadilan Sejahtera berhasil dibelah dua. Ketua Umum parpol yang tidak ikut skenario besar, dilengserkan salah satunya karena berani-beraninya menerima tokoh calon presiden yang bukan favorit penguasa di rumah dinas menterinya. Setiap pimpinan parpol, sudah ada sandera kasus hukumnya di kepolisian, kejaksaan, ataupun KPK. Tidak terkecuali tokoh nasional yang pernah maju di Pemilu 2019, juga punya tabungan kasus terkait pembelian Bank Banten, yang dokumennya sudah lengkap, dan tinggal diangkat, jika sang tokoh tidak tunduk pada skenario koalisi pemenangan Pemilu 2024.

Maka, penentuan calon presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2024 bukanlah berdasarkan siapa kandidat terbaik menurut rakyat, tetapi ditentukan oleh kepentingan melanggengkan status quo utamanya kepentingan usaha pasca Presiden Jokowi. Termasuk bisnis membangun proyek Ibu Kota Negara, yang nilainya fantastis disebutkan 466 triliun. Tidak aneh juga kalau angka itu akan meningkat tajam. Seperti terjadi pada proyek partikelir PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang anggarannya terus naik, dan akhirnya ikut dijamin pemerintah, alias menambah beban utang negara.

KPK sudah dikuasai dan dilumpuhkan. Proses seleksi pimpinannya pada 2023, lagi-lagi akan diwarnai bargaining untuk menyerang lawan dan menyenangkan kawan, alias bagian dari strategi pemenangan Pemilu 2024. Pada bagian lain, MK yang menjadi pengetok palu sengketa hasil pemilu sudah pula intervensi seleksi hakim konstitusi. Pemberhentian Hakim Aswanto yang menabrak konstitusi, penerbitan Perppu 2 Tahun 2022 yang melecehkan putusan MK, menunjukkan MK sudah pula dikuasai dan coba diletakkan dalam strategi pemenangan Pemilu 2024, yang tentunya akan bertentangan dengan prinsip dasar free and fair election.

Duitokrasi Membunuh Demokrasi

Wajah hukum Indonesia bisa dikatakan dikuasai oleh satu kata, bukan demokrasi, tapi DUITOKRASI. Demokrasi adalah saat kedaulatan ada di tangan rakyat, dan negara hukum dijunjung tinggi. Duitokrasi adalah antitesanya, saat kedaulatan dibajak oleh kekuatan duit, dan negara hukum direndahkan hanya menjadi komoditas transaksi jual-beli yang diperdagangkan.

Dalam demokrasi, pemilu adalah pesta rakyat yang menghasilkan para pemimpin yang amanah, tunduk dan patuh pada kepentingan warga bangsa. Dalam duitokrasi, pemilu adalah pesta segelintir elit kuasa, yang diiringi dengan tawa suka-cita kaum oligarki. Hasilnya adalah kolusi penguasa-pengusaha untuk melindungi kepentingan bisnis, termasuk membangun bunker proteksi guna menangkis berbagai serangan hukum, akibat pola berbisnis yang kolutif dan koruptif.

Dalam demokrasi, presiden adalah pilihan rakyat. Dalam duitokrasi, presiden adalah pilihan duit. Jika kita tidak segera sadar dan melakukan perbaikan total, maka arah bernegara kita adalah menuju negara gagal. Dimana demokrasi telah dibajak dan dibunuh oleh duitokrasi. Dimana politik curang dan politik uang dijadikan mantera dan didewa-dewakan sebagai kebiasaan dan keniscayaan yang tak masalah dilakukan. Dalam duitokrasi, rakyat tidak berdaulat, dan hanya disuguhi tontonan “Sinetron Sambo” yang meninabobokkan. Padahal penguasa dan oligarki berpesta-pora nikel dan batubara sambil meluluh-lantakkan lingkungan Indonesia, dan tatanan negara-bangsa Indonesia kita.

Dalam duitokrasi, tiap hari kita melihat pembunuhan ala “Brigadir Yosua”, yaitu pembunuhan keadilan publik (public justice killing) yang melecehkan hukum, karena oknum penguasa dan aparat hukumnya, justru menjelma menjadi penjahat negara yang hanya menghamba pada kardus dollar Amerika, Singapura, ataupun Yen China. (*)

 

Pos terkait