PAREPARE, KILASSULAWESI– Kota Parepare mencekam dalam hal penanganan hukum. Hal itu terungkap dalam jumpa pers yang dilaksanakan
Komunitas Anti Korupsi (Kompak) Kota Parepare atas fenomena penanganan hukum yang muncul di sejumlah media.
Namun, kondisi itu tak digubris dan disikapi oleh aparat penegak hukum (APH). Salah satunya dugaan korupsi Rp 6,3 miliar yang telah mempidanakan sejumlah pejabat. Tapi, masih ada beberapa yang belum tersentuh dan jelas nama disebut sesuai putusan Mahlamah Agung (MA). “Saat ini belum jelas sejauh mana reaksi APH,”ujar Koordinator Kompak Parepare, Muhtazim.
Dalam pertemuan itu disampaikan pula
sejumlah kasus yang ditangani APH baik kepolisian maupun kejaksaan. Ada 8 persoalan yang dinilai tak ditangani secara serius.
1. Gedung Covid Center
2. Dana BOS yang digunakan ke Bali
3. Dana Dinkes Rp 6,3 miliar yang terus menjadi bola liar.
4. Proyek rumah impian yang tak kunjung tuntas
5. Dana KONI yang raib sekitar Rp 1 Miliar yang tak jelas
6. Dana siluman Rp 8 miliar Diskominfo tak dibahas di DPRD
7. Pengadaan air bersih antara PDAM dan Pelindo Rp 600 juta pertahun
8. Jembatan kembar
Dari 8 persoalan dugaan terjadinya tindakan pidana, maka Kompak meminta Kapolda mencopot Kapolres dan Kejagung mencopot Kajari Kota Parepare. Pembina Kompak Kota Parepare, HA Rahman Saleh menuturkan, secara tidak langsung Korupsi menggerus kesejahteraan rakyat.
Maka dalam waktu dekat dari beberapa elemen akan turun ke Polres dan Kejaksaan Kota Parepare. Sebagai bentuk kekecewaan atas kondisi tersebut. “Akan kondisi ini, maka seruan moral sudah semestinya mulai disampaikan pada sejumlah tempat peribadatan. APH sudah difasilitasi negara, dan jangan menjadi penghianat bagi masyarakat, dengan penanganan yang tebang pilih,”tegasnya.
Selain itu, Kompak mempertanyakan atas capaian opini WTP dari BPK. “Ini aneh, diduga ada permainan mata dengan pemerintah kota. Apa lagi kita telah meminta audiens sejak februari, tapi tak mendapat kabar sampai saat detik ini dari BPK. Maka kita akan mempertanyakan kinerja BPK Sulsel ke BPK RI,”ujar HA Rahman Saleh, Senin 29 Mei 2023, di Warkop Glatik, Jalan Glatik, Kelurahan Ujung Baru, Kecamatan Soreang.
Senada disampaikan, Ketua Bidang Advokat Kompak, H Makmur Raona bila ada kebohongan pada publik, putusan dinilai ganjil. “Bolehkah uang negara dipinjam. Ada pelaku intelektual, dan hakim pengadilan tipikor mencoba untuk mengaburkan persoalan tersebut,” jelasnya.
Makmur pun meminta agar Komisi Yudisial turun, adanya perbedaan putusan. Selain itu ada sejumlah persoalan proyek yang terindikasi pidana. “APH jangan bermain-main, maka perkara apapun ditangani harus jelas. Lebih banyak memenggal-menggal dalam kasus korupsi,”katanya.
APH harus bekerja profesional dan tidak tebang pilih dalam penanganan kasus tersebut. Termasuk BPK Sulsel, juga menjadi pertanyaan terkait pemberian opini WTP ke Pemkot Parepare. “APH harus mencari siapa yang mengeluarkan, dan pusat jangan ditipu-tipu,”jelasnya.
Playing Victim
Sebelumnya, Ketua LSM Laskar Indonesia Kota Parepare, Sofyan Muhammad menilai menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2024. Kondisi perpolitikan di Kota Parepare kian ‘mencekam’, persoalan penanganan hukum tak lepas dari kondisi tersebut.
Salah satunya adalah kasus dana dinkes, dimana persoalan ini terus berwacana ditengah masyarakat. Bahkan, nama-nama sejumlah pejabat terus bergulir terlibat pada kasus yang telah menjerat 3 pejabat Pemkot Parepare. “Nama wali kota, Dirut PDAM hingga Anggota Dewan terus mengemuka. Saatnya kepolisian bertindak dan memperjelas kasus tersebut,”tegasnya.
Sofyan pun menilai adanya playing victim yang terjadi dalam kasus dinkes ketika seseorang melemparkan kesalahan kepada orang lain, meski kesalahan tersebut adalah perbuatannya sendiri. Pelaku playing victim biasanya dilakukan oleh orang yang tidak ingin bertanggung jawab karena sudah melakukan kesalahan tersebut.
Bermain korban, berlagak korban, atau berpura-pura teraniaya adalah sikap seseorang yang seolah-olah berlagak sebagai seorang korban untuk berbagai alasan. Playing victim tidak muncul begitu saja sementara efeknya bisa membingungkan masyarakat yang dapat memunculkan opini variatif.
Dampaknya, lanjut Sofyan, bermunculan pernyataan provokatif dan intimidatif terhadap rakyat dalam berdemokrasi. Selain itu, kondisi sosial yang terus menghangat, dikhawatirkan demokrasi yang seharusnya menciptakan kedamaian malah justru menimbulkan situasi mencekam.
Ia pun meminta suluruh peserta Pemilu khususnya partai politik, calon anggota legislatif agar dapat mengedukasi masyarakat sehingga tercipta situasi demokrasi yang damai. Selain itu, para aparat penegak hukum (APH) juga mesti terbuka dengan berbagai persoalan hukum yang terjadi.
“Tujuannya agar masyarakat bisa teredukasi. Karena demokrasi itu hajat kita semua, harus damai, jangan malah menimbulkan situasi mencekam,” tutupnya.(*)