BARRU, KILASSULAWESI– Kerusakan kawasan mangrove pada deforestasi di area tambak kembali terjadi di wilayah pesisir pantai Kabupaten Barru. Bahkan beredar kabar jika lahan seluas 1 hektare itu akan dibangun kawasan galangan kapal. Hal itu terjadi di Kampung Toe, Desa Sido, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru.
Pengrusakan kawasan magrove itu diungkapkan, Ketua Yayasan Bantuan Hukum (YBH) Kompak Komunitas Masyarakat Pemerhati Anti Korupsi Indonesia Kabupaten Barru, Harisman kepada Kilassulawesi.com, Senin, 14 Agustus 2023. ” Ia terjadi pengerusakan lahan mangrove di wilayah tersebut. Alasan mereka melakukan pengrusakan karena memperbaiki area tambak, dengan menggunakan escavator untuk pembatas pematang,”jelasnnya.
Harisman berharap dengan acuan Perpres No 73, supaya ada tindakan agar pengrusakan tidak makin terjadi. Terlebih aturan pemanfaatan lahan pesisir pantau sudah sangat jelas. “Yang mengerjakan masyarakat sekitar, namun lahan itu dibeli sama warga dari Kota Parepare,”ujarnya. Terkait kondisi tersebut, belum ada tindaklanjut dari pemerintah setempat atau pihak terkait. “Kami juga telah melaporkan kondisi tersebut,”singkatnya.
Terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dr. M. Ilyas, S.T, M.Sc menjelaskan, bahwa dari hasil overlay yang membidangi disebutkan jika tempat tersebut bukan di kawasan pantai tapi masih daratan. “Jadi apa bila terjadi pelanggaran atau pengrusakan sesuai yang disampaikan itu adalah kewenangan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Barru,”jelasnya.
Ia berharap tidak ada pembiaran, karena dampak dari perusakan mangrove ini mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan pesisir terutama biota perairan, habitat dan koridor satwa terancam hilang.
Dari data yang dihimpun Kilassulawesi.com, perbuatan perusakan ekosistem mangrove melanggar berbagai aturan. Aturan pertama yang dilanggar yakni Pasal 35 Huruf (e) dan (f) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang berbunyi “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: (e). Menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (f). Melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.”
Para pelanggar dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan Pasal 73 Ayat (1) Huruf (b) yang berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar setiap Orang yang dengan sengaja: (b). Menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g”. Kedua, melanggar Pasal 22 (1) UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang berbunyi “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal”. Belum ada penjelasan resmi dari DLH Kabupaten Barru dengan kondisi tersebut di wilayahnya.(*)