ROMA– Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, menyerukan pentingnya keberanian politik global untuk menghentikan perang dan membangun perdamaian sejati. Seruan tersebut disampaikan dalam pidato inspiratifnya di ajang International Meeting for Peace yang diselenggarakan oleh Komunitas Sant’Egidio di Roma, Italia, dengan tema “Daring Peace” atau “Berani Mewujudkan Perdamaian.”
Dalam forum tahunan yang mempertemukan para pemimpin dunia, tokoh lintas agama, dan aktivis kemanusiaan dari berbagai negara, Jusuf Kalla tampil sebagai suara moral yang lantang menentang kekerasan dan menyerukan rekonsiliasi. Ia menegaskan bahwa hanya perdamaian bukan perang yang mampu menjamin masa depan umat manusia.
“Dalam keadaan damai, anak-anak menguburkan ayah mereka karena sebab-sebab alami. Dalam perang, ayah menguburkan anak-anaknya karena sebab-sebab buatan manusia. Hanya perdamaian yang dapat menunjukkan keindahan masa depan,” ujar JK di hadapan para delegasi.
JK mengurai akar konflik global yang menurutnya kerap berulang dari tiga faktor utama yang ia sebut sebagai “3G”: God (agama), Glory (kemuliaan), dan Gold (kepentingan ekonomi). Ketiganya, jika disalahgunakan, akan melahirkan keserakahan, fanatisme, dan supremasi yang berujung pada penderitaan kemanusiaan.
Ia menyoroti konflik Rusia–Ukraina dan krisis kemanusiaan di Gaza sebagai bukti bahwa dunia belum sepenuhnya belajar dari sejarah. “Perang memecah manusia menjadi ‘kami’ dan ‘mereka’, menumbuhkan rasa curiga, dan menghancurkan harmoni kehidupan. Tidak ada yang menang dalam perang. Kemanusiaan selalu menjadi pihak yang kalah,” tegasnya.
JK juga menyoroti peran strategis Amerika Serikat dalam menentukan arah perdamaian di Timur Tengah. Ia menilai bahwa inisiatif untuk menekan pihak-pihak yang berkonflik agar berunding harus menjadi prioritas dunia.
“Saya selalu mengatakan, hanya keberanian politik yang bisa menghentikan perang. Jika Amerika Serikat sungguh mau menghentikan perang, maka perdamaian bisa tercapai,” ujarnya.
Ia kembali menegaskan bahwa solusi dua negara (two-state solution) tetap menjadi jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik Israel Palestina. Berdasarkan pengalamannya berkomunikasi dengan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, JK menilai bahwa rekonsiliasi antara Hamas dan Al Fatah adalah kunci menuju perdamaian.
“Sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia akan tetap konsisten: jika Israel mengakui kemerdekaan Palestina, maka Indonesia akan mengakui Israel sebagai negara merdeka,” tegasnya.
Dalam pidatonya, JK juga mengingatkan tentang tantangan baru dalam perang modern, yakni keterlibatan aktor non-negara dan penyalahgunaan teknologi komunikasi. Ia menyoroti bagaimana penyebaran kebencian dan hoaks di dunia digital kini menjadi bahan bakar bagi konflik global.
“Teknologi yang seharusnya mempersatukan manusia, justru sering digunakan untuk memecah belah. Karena itu, kebijaksanaan, pengendalian diri, dan regulasi tegas menjadi kunci menjaga perdamaian digital,” tambahnya.
Menutup pidatonya, Jusuf Kalla menegaskan bahwa perdamaian adalah puncak peradaban manusia, sedangkan perang adalah kegagalan terbesar umat manusia.
“Perang selalu merendahkan nilai kehidupan manusia. Hanya perdamaian yang dapat membangun peradaban dan menjaga martabat umat manusia,” tutupnya, disambut tepuk tangan para peserta forum.
International Meeting for Peace merupakan inisiatif tahunan Komunitas Sant’Egidio yang berbasis di Roma, Italia. Forum ini telah menjadi wadah dialog antaragama dan antarbangsa selama lebih dari tiga dekade. Tahun ini, forum mengusung tema “Daring Peace” dan menghadirkan pemimpin dunia, tokoh agama, serta pegiat kemanusiaan dari berbagai negara, termasuk Paus Leo XIV dan perwakilan dari organisasi lintas iman dunia.(*)





