PAREPARE– Rapat koordinasi tertutup antara Wali Kota Parepare dan DPRD menjelang penyerahan KUA-PPAS APBD 2026, Selasa, 4 November 2025, bukan sekadar forum teknis. Di balik pintu ruang Badan Musyawarah dan Badan Anggaran, tersaji tarik ulur antara formalitas hukum dan kekesalan politik yang telah lama terpendam.
Ketua DPC Partai Demokrat Parepare, Rahmat Sjamsu Alam, menyebut langkah konsultatif itu sah dan strategis. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan PP Nomor 12 Tahun 2018 sebagai landasan hukum. “ Sebelum interpelasi dilakukan, sebaiknya ada rapat konsultasi terlebih dahulu. Itu sudah diatur,” tegas Rahmat.
Ia menilai forum tersebut sebagai ruang koordinasi untuk menyelaraskan persepsi antara eksekutif dan legislatif, terutama dalam merespons problematika publik. Rahmat bahkan menyinggung praktik Presiden Prabowo yang mengedepankan konsultasi lintas lembaga saat merancang efisiensi anggaran. “Tujuannya agar rencana efisiensi bisa dijalankan dengan komitmen bersama,” ujarnya, malam ini.
Rahmat juga menekankan bahwa interpelasi bukan jalan satu arah. Jika kepala daerah memberikan jawaban yang dianggap memadai, maka interpelasi bisa dicabut, bahkan di tahap paripurna. “Kalau sudah dijelaskan dan akan ditindaklanjuti, maka sebaiknya interpelasi tidak perlu dilanjutkan,” katanya.
Namun, narasi koordinatif itu berhadapan langsung dengan suara kritis dari Wakil Ketua DPRD Parepare, Muhammad Yusuf Lapanna. Ia menyebut interpelasi sebagai puncak kekesalan dewan. “Kami sudah sampaikan berulang kali, bahkan memanggil dinas-dinas. Tapi jawabannya terlalu normatif,” ungkap Yusuf kepada Kilassulawesi, Senin, 3 November 2025, diruang kerjanya.
Yusuf menyoroti kasus penyewaan Lapangan Andi Makkasau sebagai contoh nyata. Ia menyebut Dinas Pariwisata dan Olahraga gagal menjelaskan praktik penyewaan yang merusak aset daerah. “Jawabannya hanya ‘akan ditinjau ulang’. Tapi kami curiga, kegiatan-kegiatan itu diatur oleh orang-orang dekat Pak Wali,” tudingnya.
Ia mengungkap bahwa rumput lapangan rusak, pelataran merembet ke lapangan utama, dan mekanisme penyewaan tidak transparan. “Ini aset pemerintah daerah. Mestinya ada regulasi dan akuntabilitas. Tapi kami merasa tidak didengar,” tegasnya.
Karena semua pihak teknis tak mampu memberikan jawaban memadai, lanjut Yusuf menilai Wali Kota harus turun langsung menjelaskan. “Di situlah letak kekesalan kami. Maka interpelasi adalah jalan konstitusional untuk meminta kejelasan,” ujarnya.
Kini, setelah rapat koordinasi digelar dan Wali Kota memberikan penjelasan, sebagian anggota DPRD menyatakan puas. Namun suara-suara seperti Yusuf menunjukkan bahwa substansi masalah belum sepenuhnya selesai.
Parepare berada di persimpangan antara jalur konsultatif yang sah secara hukum dan tuntutan transparansi yang tak bisa ditunda. Interpelasi mungkin diredam, tapi pertanyaan tentang kuasa bayangan, tata kelola aset, dan komunikasi politik masih menggantung di udara.(*)





