MAKASSAR, KILASSULAWESI– Kepala Divisi Pemasyarakatan Kemenkumham Sulawesi Selatan Suprapto menuturkan dua kepala lembaga pemasyarakatan di nonaktifkan sementara dari jabatannya. Hal itu dilakukan untuk dilakukan pemeriksaan terkait dugaan adanya pungutan liar dilembaga yang keduanya pimpin.
” Iya, sejak hari ini Senin 1 Agustus ada dua kepala lembaga pemasyarakatan di non aktifkan dari jabatannya. Kepala Lapas Takalar dan Parepare untuk dilakukan pemeriksaan,” ujarnya dikutip dari sejumlah media online, siang tadi.
Penonaktifan dilakukan karena pihaknya menerima adanya laporan akan dugaan pungutan liar yang menyeret keduanya. Tim khusus dari Kemenkumham kini telah diturunkan guna mengungkap kebenaran dari laporan tersebut.
Terkait Kalapas Takalar, kata Suprapto, dilaporkan ada oknum petugas lapas yang meminta sejumlah dana ke pihak keluarga narapidana sebagai jaminan agar bisa bebas saat remisi 17 Agustus mendatang. “Kasus Lapas Takalar ada oknum petugas diduga minta uang ke keluarga napi sebesar Rp 15 juta sebagai jaminan agar bisa bebas saat remisi 17 Agustus,”jelasnya.
Jumlah itu dibuktikan dengan kwitansi dengan jumlah nominal tertentu. Namun, tak ada nama penerima dan pemberi yang tercantum di kwitansi tersebut. “Yang terima juga nama tidak terlihat karena kwitansinya robek. Ada nama saksi juga ditulis, tapi tidak diketahui siapa namanya. Hanya tertulis saksi dan tandatangan,” jelasnya.
Kwitansi itu, kata Suprapto tidak bisa dijadikan barang bukti kuat. Namun, pihaknya tetap melakukan pendalaman, karena ada nama anggota Lapas berinisial E yang tertulis di kwitansi tersebut. “Barang bukti itu tidak kuat. Namun demikian, karena di dalam menyebut nama seorang pegawai inisial E, jadi kami menelusuri kejadian itu. Siapa tahu itu benar,” ujarnya.
Sedangkan di Lapas Kota Parepare dugaan itu muncul setelah beredarnya video aksi protes narapidana narkoba yang mengajukan izin keluar untuk menjenguk anaknya yang sakit. Belakangan diketahui, jika izin tak kunjung diperoleh setelah kalapas belum menerima syarat yang ditentukan terkait izin keluar bagi narapidana narkoba tersebut.
Guna menenangkan situasi agar tidak muncul oponi- opini yang lain, kakanwil mengambil langkah kalapas di tarik untuk di mintai keterangan. “Hasilnya setelah kita periksa kami akan laporkan ke pimpinan di jakarta,” katanya. Hal itu dilakukan agar tidak menjadi simpang siur dan tidak menjadi spikulasi dan opini yang nantinya justru tidak bisa memberikan pemahaman dan pelajaran bagi masyarakat.
Ia melanjutkan, jika hasil temuannya memang betul terjadi dan valid, pihaknya akan memberikan sanksi tegas, mulai dari teguran lisan, maupun tertulis, pernyataan tidak puas, penundaan pangkat, penundaan tunjangan hingga dicopot dari jabatannya.
“Setelah kami melakukan pemeriksaan, ternyata narapidana narkoba itu belum dikasih keluar karena belum mengajukan permohonan, sudah memberikan surat keterangan. Mungkin dari personil penerimaan surat itu belum disampaikan kepada pemohon atas kekurannya. Makanya
sampai dua hari tak diberi izin, yang bersangkutan merasa heran kenapa kok tidak diijinkan keluar. “Hingga muncul kalimat emangnya harus bayar, akhirnya ditafsirkan orang lain secara berbeda padahal tidak seperti itu,” katanya.
Sebelumnya, Kalapas Kota Parepare, Zainuddin telah menuturkan, keluarga napi yang bersangkutan benar telah menyertakan surat keterangan sakit dari Puskesmas. Hanya saja, belum dilengkapi permohonan izin keluar mulai dari kepala pemerintahan di daerahnya, baik itu dari kepala desa maupun polsek setempat. “Itu aturan yang harus dipenuhi, bukan hanya keterangan sakit keluarga napi dari puskesmas,”katanya.
Namun, disaat kejadian napi narkoba itu tetap ngotot, dan menyampaikan apakah ini harus pake uang dan itu terekam dari video tersebut. Dan penyebar video tersebut diduga berasal dari oknum anggota Lapas Kelas II Parepare sendiri, karena napi tidak diperbolehkan memiliki apalagi membawa handphone dalam lapas.(*)