Kenangan Tiga Serangkai: Jusuf Kalla, Aksa Mahmud, dan Alwi Hamu

Tiga serangkai yakni Jusuf Kalla (tengah), Aksa Mahmud, dan Alwi Hamu

Hari itu, di Sanur, saya menerima kabar duka. Salah satu dari tiga serangkai yang sangat terkenal di Makassar telah berpulang: Alwi Hamu. Pada saat itu, saya sedang selesai melihat-lihat rumah sakit baru yang hampir selesai dibangun.

Oleh: Dahlan Iskan

Bacaan Lainnya

Di Makassar, memang ada istilah “tiga serangkai” yang sangat terkenal: Jusuf Kalla, Aksa Mahmud, dan Alwi Hamu. Pak JK, yang dua kali menjabat sebagai Wakil Presiden, kini berusia 82 tahun. Aksa Mahmud dan Alwi Hamu, keduanya berusia 80 tahun.

“Tiga serangkai” ini adalah aktivis angkatan 66 di Makassar. Jusuf Kalla adalah yang paling senior dan paling kaya ayah Pak JK adalah orang kaya lama di sana. Dalam tiga serangkai ini, JK adalah mentor bagi Alwi dan Aksa, baik dalam pergerakan, politik, bisnis, maupun pergaulan.

Ketiganya sama-sama kuliah di Universitas Hasanuddin. Jusuf Kalla di Fakultas Ekonomi (selesai), sementara Aksa dan Alwi di Fakultas Teknik (drop out). Aksa dan Alwi terlalu aktif dalam pergerakan mahasiswa, hingga tidak menyelesaikan kuliahnya.

Seperti mentor mereka, Aksa dan Alwi juga menjadi pengusaha. Usaha mereka tidak hanya di satu bidang, melainkan banyak sekali. Aksa lebih sukses dengan menikahi adik perempuan Jusuf Kalla. Sementara itu, Alwi menikahi dunia jurnalisme.

Alwi menerbitkan koran mahasiswa. Di Makassar, Alwi menerbitkan Harian Kami Makassar, seperti Harian Kami yang didirikan oleh aktivis mahasiswa di Jakarta, Surabaya, Banjarmasin, Yogyakarta, dan Bandung. Alwi menjadi wartawan aktivis, meskipun pernah ditahan polisi, ia tidak pernah mau berhenti berdemo hingga tidak lulus kuliah.

Perusahaan Pak JK dan Aksa Mahmud terus berkembang, sementara Alwi juga memiliki banyak perusahaan. Namun, perusahaan korannya mati. Orde Baru sudah mulai stabil, dan berita koran yang ‘panas-panas’ sudah kurang laku. Alwi mencoba menghidupkan korannya dengan nama baru: Harian Fajar. Setelah beberapa kali mati dan hidup kembali, akhirnya Alwi menemui saya di Surabaya dan meminta agar Fajar bergabung ke grup Jawa Pos yang saya pimpin.

Saya tidak mau, tetapi saya memilih untuk membantu manajemennya saja agar Fajar tetap menjadi koran independen. Saya bertekad mendidik wartawan Fajar dengan cara magang di Jawa Pos, dan setelah satu bulan magang, mereka pulang ke Makassar tanpa modal dari Jawa Pos. Saya meminjami mereka kertas, tinta, dan plate untuk percetakan.

Alwi sempat mendatangi Kompas dan meminta bergabung ke grup mereka, namun akhirnya memilih untuk bergabung ke Jawa Pos setelah saya memberikan jawaban. Sejak saat itu, kami menjadi dua serangkai dalam dunia jurnalisme.

Fajar akhirnya terbit kembali dan menjadi koran terbesar di Sulawesi Selatan, hingga mampu membangun gedung baru 17 lantai yang sangat megah di pusat kota. Di gedung inilah jenazah Alwi Hamu disemayamkan sebelum dikubur di pemakaman keluarga Jusuf Kalla yang tidak jauh dari gedung tersebut.

Alwi meninggal dunia di Jakarta Sabtu pagi lalu. Ketika Jusuf Kalla menjabat sebagai Wakil Presiden, Alwi pun melekat di istana dan sibuk luar biasa. Lima tahun lalu, Alwi terkena stroke dan keluar masuk rumah sakit, hingga tidak mengenali siapa pun yang menjenguknya.

Alwi Hamu, yang nama belakangnya adalah singkatan dari nama ayahnya, Haji Muhammad, pandai berbisnis, lobi, dan meyakinkan orang. Ia juga pandai menyanyi, bermain gitar, dan membuat humor. Kini, rangkaian tiga serangkai itu telah lepas satu. Mereka tetap menjadi teladan kekompakan yang terus dikenang hingga akhir hayat.(*)

Pos terkait