PANGKEP, KILASSULAWESI– Kepala Desa Mattiro Ujung, Kecamatan Liukang Tupabiring, Kabupaten Pangkep, Hasanuddin mengaku heran jika persoalan diwilayahnya tak diketahui pemerintah kabupaten. Pasalnya, pembangunan lahan menjadi destinasi wisata di Pulau Kapoposang yang dijual warga sudah disampaikannya berkali-kali.
Bukan hanya kepada Bupati Pangkep, Camat, dan dewan pun pernah disampaikannya. Bahkan, investornya pernah melakukan pertemuan diruang kerja Wakil Bupati Pangkep, walau kalah itu pak Syahban tidak ikut hadir. “Semua perkembangan pembangunan di Pulau Kapoposang saya sudah sampaikan kepada bupati MYL. Tapi, tidak ada tindak lanjut ke bawah. Saya sampaikan ke beliau karena aktivitas di sana saya pikir tak mengantongi izin membangun dan izin operasional,” ungkap Hasanuddin malam tadi.
Bahkan kepada Kilassulawesi.com, Hasanuddin menuturkan pernah ada kejadian dimana salah satu anggota DPRD Pangkep datang melakukan reses didampingi personel Polsek hendak meninjau lokasi tersebut. Namun, personel kepolisian yang hendak mengabadikan lokasi itu mendapat larangan dari penjaga Kapoposan Paradise Resort.
Pernyataan mantan Ketua HMI Pangkep ini pun memicu pernyataan Wakil Bupati Pangkep, Syahban Sammana yang mengaku pemerintah daerah kecolongan dengan segala aktivitas, mulai penjualan lokasi hingga pendapatan hasil dari destinasi wisata bahari itu.
Terpisah, mantan Kadis Pariwisata Pangkep, Ahmad Djaman melalui WhatsApp menuturkan, jika dirinya pernah dengar persoalan ini. ” Katanya dia beli tanah di Pulau Kapoposang, tapi proses ijin usahanya semasa saya masih menjabat kadis tidak pernah ada penyampaian. Biasanya kalau ada permohonan ijin usaha pariwisata ke PTSP, maka PTSP menembusi kami untuk memintah menugaskan staf melakukan peninjauan lokasi,”katanya.
Ditegaskan, Ahmad Djaman yang kini bertugas di Pemkab Majene tidak pernah ada permintaan. Mungkin yabg lebih tahu itu pak desanya. ” Kalau tidak salah ingat, pak Desa menyebut pengelolanya adalah PT Kapoposang Indah, terkait siapa pemiliknya, saya juga tidak tahu.
PTSP pasti punya dokumen terkait perusahaan itu karena pernah urus IMB di PTSP,”jelasnya.
Lantas bagaimana proses pemindahan hak itu hingga dikuasai warga keturunan di pulau yang kini menjadi destinasi wisata mahal itu?
Berikut fakta-fakta yang disampaikan Kades Mattiro Ujung, Hasanuddin:
1.Pada sekitar tahun 2019, desa yang dipimpinnya mendapat kuota untuk proyek nasional (prona) sertifikat dari Kementerian ATR/BPN. Informasi itu disampaikan kepada warga yang memiliki lahan untuk mengajukan ke desa dengan ketentutan yang disyaratkan.
2.Dari jumlah kuota yang ada, tercatat nama Amir T yang mengajukan untuk pengajuan sertifikat. Tetapi, kades mewanti-wanti kepada warga untuk dimanfaatkan sebaik mungkin, dan tidak untuk dijual kepada siapa pun. Kades menganggap prona ini adalah prestasi bagi dia, karena selama ini tak pernah ada prona di Desa Mattiro Ujung, Kecamatan Liukang Tupabiring.
3. Setelah terbit sertifikat, datanglah Amir T mengutarakan maksudnya untuk diberikan rekomendasi pengusulan IMB ke dinas terkait. Kades bertanya ke Amir, apa yang akan dibangun di atas tanah itu? Amir T menjawab akan membangun villa. Kadees terus mengejar pertanyaan dari mana dananya, karena kades tahu semua ekonomi warganya. Amir lantas menjawab akan dikerjasamakan dengan relasi anaknya yang ada di Makassar. Sistemnya bagi hasil, Amir T sebagai pemilik lahan sesuai sertifikat, dan pemilik modal dari pengusaha Makassar yang disebut rekan anaknya.
4. Kades akhirnya menandatangani format rekomendasi itu untuk pengurusan IMB di kabupaten, dengan mewanti-wanti kepada Amir untuk jujur sesuai yang disampaikan.
5. Belakangan turunlah tim survei ke lokasi dari PTSP untuk usulan IMB villa sesuai yang ditulis di rekomendasi.
6. Dalam perjalanan, aktivitas pembangunan mulai berjalan. Saya tidak tahu apakah sudah mengantongi IMB atau tidak. Setahu saya belum ada saat itu, tetapi kemungkinan ada oknum yang menjamin untuk menjalankan aktivitas pembangunan. Saya kerap ke sana dan melihat pembangunan. Pembangunannya bukan hanya villa sesuai yang disampaikan Amir T dari awal rekomendasi, tetapi banyak fasilitas termasuk cottage, dan sebagainya.
7. Tidak lama berselang, ada warga yang melaporkan bahwa lahan itu sudah bukan milik Amir T, tetapi sudah dijual kepada pihak lain, bernama Ilham melalui Notaris, sehingga kades tak dilibatkan. Kabarnya, Ilham ini hanya ‘nama titipan’ yang diketahui dari salah satu kesatuan.
8. Kades pun memanggil Amir T untuk mengklarifikasi penjualan lahan tersebut. Ternyata Amir T mengakui sudah memindahtangankan lahan miliknya itu kepada Ilham. Alasannya, kalau Amir T melaporkan ke Kades, maka dipastikan tidak akan terjadi jual beli.
9. Kisaran harga jual tanah itu di angka Rp150 juta hingga Rp250 juta. Kades tak mengetahui betul angka pastinya. ‘Hanya nilai itu yang berkembang di masyarakat’. Amir juga tak mau menyampaikan”.
10. Kades menyebut, nilai pembangunan destinasi wisata itu berkisar Rp13 miliar dengan fasilitas lengkap di dalamnya.
11. Setelah rampung dan mulai dimanfaatkan, Kades melapor ke kabupaten, termasuk bupati dan pejabat terkait, tapi mengaku tak direspons.
12. Pada awal April 2023, seorang petugas dari Bapenda Pangkep meneleponnya, yang meminta mengecek adanya usulan untuk memindahtangankan pengelolaan tempat pariwisata itu dari tangan Ilham kepada Suwandi Jawetan Hong.
13. Pada 5 Mei 2023, dia (kades) dipanggil bersama sejumlah dinas terkait, Dinas Pariwisata, DPM PTSP, Camat Liukang Tupabiring, rapat dengan Komisi II DPRD Pangkep. Agendanya mempertanyakan IMB, izin operasional, dan sejumlah persoalan dalam kasus yang terjadi di Pulau Kapoposang.
14. Pada 25 Mei 2023, rapat kembali dilanjutnya dengan tim tindak lanjut yang dibentuk Pemkab Pangkep di ruang wakil bupati. Agendanya, mempertemukan pengelola dan semua dinas terkait. Intinya, membahas perizinan dan asal muasal persoalan ini muncul.
15. DPM PTSP menyimpulkan, IMB yang dikantongi tidak sesuai dengan peruntukannya, karena itu kemungkinan ada Tindakan-tindakan lain terkait dengan persoalan ini.
Kawasan Konservasi Perairan Nasional
Pulau Kapoposang, Desa Mattiro Ujung, Kecamatan Liukang Tupabiring, Kabupaten Pangkep merupakan satu di antara delapan pulau yang masuk Kawasan Konservasi Perairan Nasional di Indonesia Timur di bawah Kementerian Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Koordinator Wilayah Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Satuan Kerja Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ilham menyebutkan, sesuai Kepmen Nomor 35 Tahun 2022 tentang Kawasan Konservasi Kepulauan Kapoposang dan Laut sekitarnya terdapat zona inti dengan luas 911,23 hektare dan zona pemanfaatan terbatas dengan luas 49/012,32 hektare.
Dalam zona inti dan zona pemanfaatan terbatas ini, lanjut dia, ada ketentuan-ketentuan yang tidak diperbolehkan melakukan aktivitas di area tersebut. Dia mencontohkan pada zona inti, tidak diperbolehkan di antaranya pelayaran rakyat dan pelayaran kecil, pelayaran kapal penumpang wisata/kapal pesiar, lalu lintas kapal penangkap ikan ukuran di atas 10GT, penangkapan ikan termasuk oleh nelayan yang bermukim di sekitar kawasan konservasi, kegiatan pendidikan, pembudidayaan ikan, kegiatan pariwisata alam perairan, penyediaan infrastruktur pariwisata alam perairan, pendirian dan atau penempatan pembangunan laut, pemanfaatan air laut selain energi, serta pembuatan foto, film, dan video komersial. “Jadi ada ketentuan-ketentuan tertentu yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat dan tidak sama sekali diperbolehkan,” tandas Ilham.
Dia juga menjelaskan, bahwa sebuah pulau itu paling sedikit 30 persen dikuasai langsung oleh negara dan paling banyak 70 persen dari luas pulau dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Dari 70 persen itu pun pelaku usaha wajib mengalokasikan 30 persen untuk ruang terbuka hijau. “Artinya hanya 49 persen dari luas pulau yang boleh. Selebihnya 51 persen akan dikonservasi,” ujar Ilham.
Terkait dengan kepemilikan lahan bersertifikat, Ilham menyebut, itu kewenangan dari Kementerian ATR/BPN, termasuk lahan yang belakangan menjadi sorotan di wilayah Kapoposang. “Kami hanya bagian konservasi pengelolaan perairan lautnya saja. Kalau urusan sertifikat itu di luar kewenangan kami,” paparnya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia Nirwan. Menurutnya, sesuai Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2022 itu, maka ketentuan yang diperbolehkan pada zona inti itu hanya kegiatan penelitian di wilayah kawasan konservasi kepulauan, khususnya di wilayah Kapoposang.
“Zona pemanfaatan terbatas pada sub zona pariwisata dan sub zona perikanan budidaya juga sudah diatur dengan ketentuan di dalamnya, ada yang diperbolehkan, ada diperbolehkan dengan syarat dan juga sama sekali tidak diperbolehkan. Itu sangat jelas regulasinya,” papar Nirwan.(*)